Jumat, April 19, 2024
BerandaBale BandungKemping Anak Difabilitas Menembus Batas

Kemping Anak Difabilitas Menembus Batas

Summer Camp With Difabel 16-17 September 2017di Saung Monteng, Desa Laksana, Kec Ibun, Kab Bandung. by fkpa
Summer Camp With Difabel 16-17 September 2017di Saung Monteng, Desa Laksana, Kec Ibun, Kab Bandung. by fkpa

IBUN – Bayangkan, ketika seorang Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) berjalan di tengah hutan, dielus dinginnya angin gunung dan kicauan burung, lalu bercengkrama di tengah gemuruh air terjun? Tentu respon seorang tuna netra, berbeda dengan tuna rungu, tuna grahita atau bahkan yang double handycap.

Itulah penggalan kegiatan Summer Camp With Difabel 2017 yang berlangsung 16-17 September di Saung Monteng, tak jauh dari Kamojang Bridge Hill alias Jembatan Koneng Kamojang, Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung.

Memang tak seperti perkemahan pada umumnya, SCWD ini digelar di lapang yang tak terlalu luas di bawah bukit yang terlindung dari terpaan angin langsung dari arah gunung. Maksudnya agar peserta terkonsentrasi dan terasa lebih akrab dan hangat. Maklum karena sebagian besar peserta adalah ABK yang perlu pendampingan dan pengawasan ekstra dalam berkegiatan di alam terbuka.

Program yang digawangi FKPA Kab. Bandung bekerjasama dengan B-Pas Saparako dan Jaga Balai ini adalah sebuah terobosan kegiatan dunia pecinta alam, yang selama ini asyik sendiri dengan dunianya. Kali ini dengan mengajak kaum difabel diharapkan lebih mendorong kepedulian bahwa mereka juga punya hak yang sama untuk mencintai dan tentu melestarikan alam.

Sebanyak hampir 200 peserta yang terdiri dari ABK, orang tua, guru dan para relawan pengajar bergabung bersama barudak PA dari Sispala, Mapala maupun PA umum. Siswa ABK yang terlibat berasal dari SLB Saparako di tengah kota Majalaya dan SLB Kampung Pabean yang ada di tengah sawah di Desa Drawati, Kec. Paseh.

Sengaja 2 tipe SLB kota dan kampung ini dikolaborasikan agar dicapai tingkat soliditas kegiatan yang saling mengisi. Selama dua hari para peserta dilibatkan dalam kegiatan bersama yang mungkin berbeda dari sekedar Kemping Ceria atau Kemah Remaja yang selama ini digelar.

Kenapa disebut menembus batas? Ya, bagi ABK belajar di luar ruang (class without wall) mungkin sesuatu yang jarang. Kali ini dengan kegiatan khas barudak PA, mereka diajak tak sekedar bergembira ria, namun sarat dengan makna edukasi, baik bagi ABK sendiri maupun bagi peserta lainnya yang normal.

Peserta tiba di lokasi dengan menggunakan 10 angkot yang disewa dari masing-masing sekolah. Pengenalan lingkungan Saung Monteng disuguhkan sebagai menu pembuka setelah upacara pembukaan dan pengalungan syal, dilanjutkan dengan hiking ke Curug Mahdi untuk mengenalkan rona alam. Sekalian melakukan penyiraman (nyebor) tanaman yang sudah ditanam beberapa bulan lalu, mengingat saat ini musim kemarau.

Keseruan yang dirasakan di sana membuat sebagian peserta betah berbasah ria. Kembali ke camp, Ayah Nunuh melanjutkan dengan season pengenalan bibit tanaman endemik dan cara penyemaiannya, mulai dari mengenal bentuk biji dan kecambah sampai memasukkan media tanah ke dalam polybag. Acara ini disampaikan secara verbal, visual, juga secara jenaka penuh canda tawa.

Malam hari, acara diisi dengan shalat berjamaah, dilanjutkan pembacaan kalam Illahi dengan Al Qur’an hurup braille, lalu Motivation Building dengan tausiah berjudul “Menuntut Ilmu Sepanjang Hidup” dari Bu Tetty, seorang penyandang tuna netra yang berasal dari keluarga tak mampu di kampung Rancakole. Namun ia berhasil meraih gelar sarjana dan masih terus menuntut ilmu.

Menginjak acara hiburan, berupa “Unjuk Kabisa” dimulai dengan alunan Rajah Pangbuka oleh Ki Jagur dkk dari Pacet diiringi karinding, celempung dan suling, lalu sederet lagu jenaka juga dilantunkan oleh Ajeng dkk.

Agar ada nilainya, diadakan juga dialog interaktif yang menampilkan para guru dan relawan dari kedua SLB. Acara curhat ini berupa kesan, pesan dan harapan mereka tentang pendidikan ABK yang selama ini masih termarjinalkan.

Unjuk Kabisa ini juga menampilkan kisah sukses Kristin, seorang penyandang tunanetra yang kini kuliah di PLB sekaligus menjadi pengajar disekolahnya dulu, sambil berprofesi sebagai artis karena kepiawaiannya memainkan organ dan menyanyi.

Maklum, dia adalah seorang peraih juara berbagai lomba menyanyi. Kristin juga memotivasi ABK lainnya karena sekarang sudah tersedia berbagai alat bantu, dari mulai aplikasi HP Android sampai software di laptop untuk membantu kaum tunanetra. Hebatnya dia mengajar juga bagi penyandang tuna rungu dan tuna grahita.

Semakin malam, deretan penampilan mulai dari silat, tari, nyanyi sampai musikalisasi puisi diiringi gitar dan organ tunggal. Ditayangkan juga film dan slide tentang berbagai kegiatan ABK. Lalu testimoni dari orangtua tentang pem-bully-an yang dialami anaknya.

Acara ditutup dengan pemberian cinderamata, karinding dan pin bagi para peserta. Para peserta sengaja tak disuguhkan dengan acara api ungun, mengingat kekhawatitran jika silalatu-nya bisa menyebabkan kebakaran hutan yang kering akibat kemarau. Lalu peserta-pun beristirahat dengan sleeping bag di tenda dan saung yang sudah disediakan.

Minggu pagi, dimulai dengan shalat subuh berjamaah, lalu senam pagi dan olah raga adaptif sesuai dengan kondisi masing-masing ABK. Setelah sarapan, game adaptif digelar dengan permainan yang natural bukan artificial, berupa kaulinan urang lembur.

Menjelang tengah hari, upacara penutupan berupa pembentangan 200 meter Bendera Merah Putih di sepanjang jalan pinggir hutan Kamojang, kemudian dibacakan “Deklarasi Kamojang” oleh peserta difabel sebagai sebuah bentuk pernyataan sikap dan diakhiri dengan alunan lagu Padamu Negeri sekaligus salam perpisahan semua peserta. *by Denni Hamdani, Yudi Nurman Fauzi, FKPA Kab Bandung.

BERITA LAINYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

TERKINI