Jumat, April 19, 2024
BerandaBale JabarKetika 3 Penerbang Muda Serang Markas Belanda

Ketika 3 Penerbang Muda Serang Markas Belanda

tni-au.mil.id
tni-au.mil.id

Tanggal 29 Juli 1947, merupakan hari bersejarah bagi Angkatan Udara Republik Indonesia. Pada hari itu tiga penerbang dan tiga juru tembak udara akan melaksanakan serangan terhadap tangsi militer Belanda di Semarang, Salatiga, dan Ambarawa. Penyerangan dilakukan akibat Belanda sebelumnya telah menyerang wilayah RI, termasuk pangkalan udara di Jawa dan Sumatera pada tanggal 21 Juli 1947. Salah satu pangkalan yang selamat adalah Pangkalan Udara Maguwo karena saat itu tengah diselimuti kabut.

Ide untuk membalas serangan ke tangsi militer Belanda tersebut berasal dari penerbang-penerbang muda, yaitu Mulyono, Bambang Saptoadji, Sutardjo Sigit, dan Suharnoko Harbani. Ide ini kemudian disampaikan ke Perwira Operasi Komodor Muda Udara (KMU) Halim Perdana Kusuma dan dilanjutkan ke Kasau Komodor Udara Suryadi Suryadarma.

Operasi penyerangan dimulai sekitar pukul 05.00 pagi menggunakan satu Guntei dan dua Curen take off secara berurutan dari Lapangan Udara Maguwo. Pesawat Guntei yang dipiloti oleh Kadet Udara I Mulyono dengan air gunner Dulrahman terbang terlebih dahulu menuju Semarang, dengan membawa 400 kg bom, disusul Curen yang dipiloti oleh Kadet Udara I Sutardjo Sigit dengan air gunner Sutardjo dan Kadet Udara I Suharnoko Harbani dengan air gunner Kaput. Masing-masing pesawat Curen membawa bom seberat 50 kg yang digantungkan pada setiap sayapnya dan air gunner memangku peti-peti berisi bom-bom bakar.

Hari masih gelap dan lampu kota masih menyala, ketika bom-bom itu dilepaskan dari gantungannya dan dilemparkan ke sasaran bangunan-bangunan yang menjadi markas tentara Belanda. Setelah selesai membuang semua bom, dengan segera mereka kembali ke Pangkalan Udara Maguwo dengan terbang rendah. Kurang lebih pukul 06.00 pagi, satu persatu pesawat mulai landing kembali ke pangkalan dan pesawat segera disembunyikan di bawah pohon.

Pagi hari itu, Pangkalan Udara Maguwo diliputi suasana bangga, senang, dan haru karena para pejuang udara telah berhasil melaksanakan tugas dan kembali dengan selamat. Operasi ini merupakan operasi udara pertama AURI sejak berdiri tahun 1946 yang dilakukan dengan menggunakan pesawat peninggalan Jepang yang berhasil diperbaiki.

Namun pada sore hari, Indonesia diliputi suasana duka yang mendalam. Sebab pada petang hari itu, pesawat Dakota VT-CLA yang membawa obat-obatan sumbangan Palang Merah Malaya untuk Palang Merah Indonesia ditembak jatuh oleh dua pesawat pemburu P-40 Kitty Hawk Belanda.

Dakota VT-CLA yang dipiloti oleh Alexander Noel Constantine saat itu tengah bersiap-siap mendarat di Pangakalan Udara Maguwo, ketika secara tiba-tiba muncul dua pesawat pemburu. Tanpa memberikan peringatan, Kitty Hawk menyerang Dakota dengan senapan mesin dan mengenai sebelah kiri pesawat. Akibatnya pesawat Dakota VT-CLA jatuh di pematang sawah Desa Ngoto, Bantul, sebelah selatan Kota Yogyakarta.

Peristiwa ini menyebabkan gugurnya tiga perintis Angkatan Udara, yaitu Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, dan Opsir Muda Udara Adi Sumarmo Wirjokusumo.

Untuk mengenang dan mengabadikan peristiwa tersebut, sejak tanggal 29 Juli 1955 diperingati sebagai ”Hari Berkabung” AURI. Namun, mulai 29 Juli 1962 diubah menjadi Hari Bakti TNI AU yang sejak saat itu seluruh warga TNI AU memperingatinya secara terpusat di Pangkalan Udara Adisutjipto. Sedangkan tempat jatuhnya pesawat dibangun sebuah monumen yang diberi nama Monumen Ngoto. Namun, sejak tanggal 17 Juli 2000 menjadi Monumen Perjuangan TNI Angkatan Udara.

Hari Bakti ini hendaknya tidak hanya diperingati sebagai tradisi, namun juga dihayati sebagai salah satu sejarah TNI AU yang membanggakan. Dispen Mabes TNI AU.

BERITA LAINYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

TERKINI