SOREANG – Forum Komunikasi Pengusaha Kabupaten Bandung (FKPKB) memprotes perlakuan diskriminatif dari Pemerintah Kabupaten Bandung dalam hal pembagian “jatah” pekerjaan, khususnya pekerjaan kontruksi. Selama ini para pengusaha menengah ke bawah di Kabupaten Bandung yang notabene putra daerah itu, merasa dianaktirikan, karena berbagai pekerjaan kerap jatuh kepada pengusaha dari luar daerah.
Sekretaris FKPKB Dani Kusmawan mengatakan, selama ini berbagai pekerjaan yang diselenggarakan Pemkab Bandung 90% pengerjaannya melibatkan pelaku usaha dari luar daerah. Sedangkan para pelaku usaha, khususnya usaha jasa kontruksi seperti pembangunan jalan, gedung dan lainnya di Kabupaten Bandung, hanya dilirik sebelah mata. Padahal secara kualifikasi, kredibilitas dan kemampuan pengusaha setempat pun cukup mumpuni. Dampak dari kebijakan yang dianggap diskriminatif ini, para pelaku usaha ini sulit untuk maju dan berkembang.
“Kami menuntut keadilan kepada Pemkab Bandung. Soalnya selama ini keberadaan kami para pelaku usaha yang asli putera daerah kesulitan. Bahkan seakan dihambat untuk mendapatkan berbagai proyek pembangunan di setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD), terutama di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR). Padahal, secara kemampuan kami juga sanggup kok. Tapi kenapa selalu diberikan kepada perusahaan dari luar daerah?” ungkap Dani, Minggu (23/7/17).
Hal yang lebih memprihatinkan, kata Dani, setiap kali ada perencanaan pembangunan, proses lelang belum dilaksanakan, namun calon pemenangnya telah ditetapkan oleh pihak Pemkab Bandung. Hal ini tentu saja menyimpang dari aturan yang ada dan membuat para pengusaha lokal jadi enggan untuk turut serta dalam proses lelang, karena sia-sia saja.
“Tuduhan kami ini bukan mengada-ada. Tapi saya siap membuktikan dan membeberkan fakta-faktanya. Ini sudah tidak sehat dan terjadi sejak lama. Nah, kalau untuk proyek besar bernilai miliaran rupiah dan dilelangkan melalui LPSE, kami pun menyadari itu terbuka untuk siapa saja yang mampu. Tapi tolonglah, kalau pekerjaan kecil yang sifatnya Penunjukan Langsung (PL), kenapa harus dikasih ke pengusaha dari luar daerah,” bebernya.
Tak hanya itu saja, lanjut Dani, para pelaku usaha lokal juga merasakan adanya hambatan yang sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu di Pemkab Bandung. Salah satunya adalah persyaratan untuk mengikuti tender pekerjaan di Pemkab Bandung. Pelaku usaha harus memiliki deposit rekening tabungan sebesar Rp 300 juta. Hal tersebut, tentu saja sangat memberatkan, karena tidak semua pelaku usaha memiliki deposit sebesar itu.
“Yah, tidak masuk di akal saja. Masa kami mau mencari pekerjaan nilainya dibawah Rp 200 juta, tapi harus punya deposit di rekening Rp 300 juta. Ini sangat mengada-ada dan diciptakan untuk menghambat kami pengusaha daerah,”kata dia.
Dengan larinya berbagai pekerjaan ini kepada pengusaha daerah, kata Dani, sebenarnya yang dirugikan bukan hanya mereka. Melainkan Pemkab Bandung pun turut dirugikan, karena badan hukum perusahaan dari luar daerah ini tentunya tidak terdaftar di Kabupaten Bandung. Dengan begitu, tentu saja pajak perusahaan yang seharusnya menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bandung, malah dinikmati oleh daerah tempat domisili perusahaan tersebut.
“Coba saja lihat setiap pencairan proyek di bank yang ditunjuk oleh Pemkab Bandung selalu kosong. Yah karena para pelaku usahanya itu NPWP dan lainnya di luar Kabupaten Bandung. Dengan begitu yah otomatis PAD-nya juga lari ke daerah lain, kalau begitu kan Pemkab juga dirugikan dong,” selorohnya.
Ketua FKPKB Pitra Lingga Muslim membenarkan kondisi yang saat ini dialami oleh para pengusaha asli putera daerah Kabupaten Bandung. Menurutnya, selama ini memang terjadi ketimpangan. Sehingga wajar jika menimbulkan kecemburuan dari para anggotanya. Padahal, secara kualifikasi dan kompetensi para pelaku usaha asli putera daerah ini tak kalah dengan pengusaha dari luar. Namun sayangnya, kondisi ini seolah sengaja diciptakan untuk menjegal langkah mereka.
“Kami pun sama seperti pengusaha lainnya, menempuh prosedur dan berbagai tahapan. Tapi sayangnya itu, kenapa selalu mendapat perlakuan diskriminatif,” ujarnya.
Pitra melanjutkan, selama ini para pelaku usaha asli putera daerah merasakan hal yang sama. Sehingga, mereka sepakat membentuk suatu forum. Dengan adanya forum ini diharapkan dapat menjembatani kepentingan semua pihak. Sekaligus menjadi ajang silaturahmi dan bergotong royong sesama pelaku usaha untuk kemajuan pembangunan di Kabupaten Bandung.
“Langkah kami selanjutnya akan beraudiensi dengan DPRD, Pemkab Bandung dan aparat kepolisian, kejaksaan dan lainnya. Kami ingin mempertanyakan hak untuk berusaha dan bekerja, dan tentunya untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan di daerah kami sendiri,” terangnya.