BANDUNG – Kebiasaan buruk membuang sampah ke sungai kini sudah membudaya. Sosiolog dari Universitas Padjajaran Garlika Martanegara mengatakan membuang sampah ke sungai sudah menjadi culture akibat pendidikan, khususnya character building di negara kita yang tidak merata. Terutama menurutnya untuk sekolah-sekolah yang bukan dengan kurikulum khusus/internasional.
Menurut Lieke, sapaan Garlika, sanksi sosial bagi pembuang sampah ke sungai nggak bakalan mempan. Lieke bilang sanksi sosial itu baru bisa efektif pada budaya yang kuat. Sebab sanksi sosial itu datang ketika ada hal yang dianggap melanggar norma dari suatu masyarakat. Parameternya pun, kata dia, antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya bisa saja berbeda.
“Sekarang pertanyaannya,apakah buang sampah ke sungai dianggap hal yang melanggar norma masyarakat? Atau justru dianggap biasa? Kalau buang sampah ke sungai dianggap biasa, ya, jelas nggak mempan dong dengan sanksi sosial. Yang ada malah nanti berlomba-lomba menunjukkan eksistensi dengan cara yang salah. Makin foto mereka dipajang di spanduk atau baligo sebagai pelanggar, ya mereka malah makin bangga nantinya,” ungkap Lieke kepada Balebandung.com, Sabtu (2/4/16).
Lieke menyebutkan untuk mengubah kultur membuang sampah ke sungai itu setidaknya ada dua cara. Pertama, bisa secara soft atau perlahan, tetapi memakan waktu lama. Kedua, bisa juga dipaksakan misalnya dengan memberikan sanksi hukum sesuai perda. Jadi, bukan dengan sanksi sosial.
“Kalau dengan sanksi sosial, ya jelas nggak tepat. Kecuali kalau memang buang sampah ke sungai itu secara norma sudah sama dengan kesalahan hamil di luar nikah misalnya, nah, itu baru bisa mempan,” selorohnya.
Ia menyarankan agar aparat dan pemerintah lebih baik tegas saja. Lieke menunjuk contoh di Singapura bahkan ada aturan tegas bagi yang meludah sembarangan saja dikenai denda 50 SGD. Mungkin awalnya masyarakat akan protes atas penindakan sanksi hukum, kata Lieke. Tapi nanti toh akan membudaya. Asal aparat dan pemerintah konsisten dalam menjaga peraturannya.
“Kalau perda soal buang sampah sembarangan tidak ditegakkan, itu artinya tidak konsisten. Jangan-jangan penegak hukumnya sendiri sudah menganggap buang sampah ke sungai itu hal yang biasa,” bebernya.
Jadi sebetulnya, kata Lieke, harus buang sampah pada tempatnya itu belum menjadi norma. Bahkan di pihak aparat dan pemerintah sendiri.
“Ya, lebih lucu lagi mau ada sanksi sosial. Lucu karena normanya saja ngga jelas, ngedadak mau dikasih sanksi. Nanti yang ada malah dipakai ajang eksis. Makin banyak foto kita sebagai pelanggar sampah, makin bangga sampe di-upload ke medsos. Persis napi kambuhan deh, makin sering keluar masuk penjara dianggap makin jago,” bebernya.
Sementara terkait pernyataan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang mengatakan buang sampah ke sungai itu haram, Lieke menyatakan sebagai Gubernur Aher mencoba mengetuk dari sisi ideologi agama. Menurutnya hal itu bisa efektif dengan catatan umat islam sudah sangat meyakini bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman.
“Untuk yang religius dan betul-betul menjadikan islam sebagai pandangan hidup, ya cukup efektif. Tinggal sisanya yang kurang religius. Tapi sekarang kan pelanggaran yang jelas-jelas hukumannya nyata aja banyak yang melanggar. Apalagi pelanggaran yang hukumannya abstrak semacam agama,” pungkas Lieke. [iwa]