CIWIDEY – Masyarakat Desa/Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung meresah kan rencana pembangunan pasar wisata di atas lahan Alun-alun Ciwidey oleh Pemerintah Desa Ciwidey. Padahal keberadaan alun-alun tersebut merupakan satu-satunya area publik yang biasa digunakan untuk berbagai kepentingan masyarakat.
Salah seorang tokoh masyarakat Ciwidey yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan, sekitar sebulan lalu, Pemerintah Desa Ciwidey berencana mendirikan pasar wisata di alun-alun tersebut. Tak lama berselang, sebuah alat berat masuk dan merusak berbagai fasilitas alun-alun.
Melihat kejadian seperti itu, ia dan warga Ciwidey lainnya tentu keberatan dengan rencana pembangunan pasar wisata di lokasi tersebut. Sejak dulu keberadaan alun-alun itu digunakan sebagai tempat masyarakat Ciwidey melakukan berbagai aktivitas publik. Seperti berolahraga, upacara perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus, kegiatan keagamaan seperti solat Idul Fitri dan Idul Adha, berolahraga, hingga bermain anak-anak.
“Sebagai warga tentu kami keberatan, jika ruang publik yang selama ini dipakai untuk berbagai kegiatan masyarakat mau diubah jadi tempat komersial,” kata dia, Rabu (27/7/16).
Ia membuktikan, sebelum berdirinya pasar wisata pun, masyarakat telah merasakan kesulitan. Pada saat akan melaksanakan solat Idul Fitri kemarin, kini mereka tak bisa menggunakan lapangan alun-alun itu. Sebab dampak dari pembongkaran dengan menggunakan alat berat sekitar sebulan lalu itu, kini dibiarkan berantakan dengan sampah berserakan dimana-mana.
“Yah, solat Idul Fitri yang merupakan salah satu aktivitas publik, sekarang saja sebelum berdiri pasar wisata itu warga sudah tak bisa menggunakannya. Apalagi nanti kalau sudah ada dan beroperasi pasar tersebut. Warga yang hendak berolahraga, anak-anak yang bermain, para pelajar yang akan upacara, sekarang sudah tidak bisa lagi,”sesalnya.
Selain itu, kata dia, jika saja pasar wisata itu telah berdiri, yang kemudian menjadi pertanyaan. Apakah akan benar-benar bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Karena kios-kios yang direncanakan sebanyak 48 unit itu, disewakan seharga Rp 36 juta per tahun.
“Lalu apakah benar-benar keberadaan pasar wisata itu untuk meningkatkan kesejahteraan warga sekitar. Karena dari mana warga punya uang sebesar itu untuk menyewanya, dan kami perkirakan, ujung-ujungnya ini hanya akan menjadi kepentingan para pemilik modal besar saja,”tudingnya.
Keresahan serupa diungkapkan oleh warga lainnya yang tak mau disebutkan namanya. Ia mempertanyakan keputusan pihak Desa Ciwidey mendirikan pasar wisata di tempat yang selama menjadi satu-satunya tempat ruang publik itu. Karena meskipun lahan alun-alun tersebut milik Pemerintah Desa Ciwidey, tapi seharusnya sang kades memusyawarahkan lebih dulu rencana tersebut dengan para tokoh masyarakat. Karena ini menyangkut kepentingan publik yang jauh lebih besar ketimbang pasar wisata yang kemungkinannya hanya akan menguntungkan segelintir orang saja.
“Kenapa pihak desa tidak mengajak musyawarah lebih dulu. Lalu, bagaimana dengan legalitas dari keputusan kades itu, yang merubah ruang publik menjadi lokasi komersial. Apakah itu sudah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung, lalu apa ada tidak Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten Bandung. Jangan asal bangun saja dong, tapi hargai kami sebagai masyarakat dan hargai juga dong aturan yang berlaku di negara ini,”ungkapnya.
Ia juga meminta Pemkab dalam hal ini Bupati Dadang M Naser, untuk menghentikan rencana tersebut. Karena pada dasarnya rencana pendirian pasar wisata itu tidak sesuai dengan peruntukannya. Jika tetap dipaksakan, ia dan warga lainnya pun tidak menutup kemungkinan untuk menggelar aksi unjuk rasa kepada Pemerintah Kabupaten Bandung. Untuk menuntut keadilan atas kesewenanga-wenangan kepala desa dan perangkatnya itu.
“Bupati harus turun tangan, jangan biarkan ruang publik dijadikan tempat komersial. Dan hanya menguntungkan sebagian pihak dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak,” keluhnya.
Menanggapi keluhan itu, Kepala Desa Ciwidey Ade Setia Permana membantah jika dikatakan tidak melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan pasar tersebut. Sebab dalam perencanaannya itu telah disetujui oleh Badan Pemerintahan Desa (BPD) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD). Kedua institusi desa tersebut, merupakan representasi dari masyarakat Desa Ciwidey.
“Ini sudah disetujui oleh BPD dan LPMD, nah itu kan implementasi dari perwakilan masyarakat. Jadi tidak benar kalau dikatakan saya tidak melibatkan masyarakat,” kilahnya.
Selain itu, kata Ade, sebagai kades dirinya merasa berkewajiban untuk mengoptimalkan potensi yang ada di desanya. Karena Pemerintah Desa Ciwidey tak memiliki tanah carik selain lahan alun-alun tersebut. Sehingga lahan alun-alun ini pun jadi pilihan untuk dijadikan pasar wisata.
“Apalagi penggunaannya juga tidak habis semua, yah hanya sekitar 15% dari luas alun-alun kurang lebih 400 meter persegi. Lahan yang akan dipakai kios itu bentuknya leter U,”jelasnya.
Sedangkan untuk ruang publik untuk beraktivitas masyarakat, terang Ade, dialihkan ke bagian bawah. Dimana lahan tersebut, merupakan lahan Pemkab Bandung yang diperuntukan bagi ruang publik. Apalagi lahan di bagian bawah tersebut, telah memiliki Surat Keputusan (SK) Bupati Bandung, sebagai ruang untuk beraktivitas masyarakat (ruang publik).
“Untuk aktivitas publik masih ada lahan yang di bawahnya. Dan sebenarnya kami juga pengennya lahan yang di bawah untuk pasar wisata itu. Tapi karena itu milik pemda, dan keinginan kami untuk tukar guling dengan alun-alun yang menjadi milik desa, itu prosesnya sulit. Yah, sudah kami pakai lahan milik kami sendiri,” terangnya.
Ade melanjutkan, keberadaan pasar wisata itu, nantinya akan berada di bawah Badan Usaha Milik Desa (BUMDES). Begitu juga dengan para pedagang yang akan menempati kios di pasar wisata itu adalah warga sekitar dengan tujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan perekonomian warga sekitar.
“Saya menjamin, kalau nantinya para pedagang di sana adalah warga sekitar. Begitu juga pengelolaannya oleh BUMDES. Itu jaminan saya yang dituangkan dalam Peraturan Desa (Perdes). Jadi siapapun kepala desanya nanti, akan tetap berlaku seperti itu,” tandas Ade.
Kades pun mengakui selama ini muncul keberatan dari masyarakat. Namun sebaiknya, kata dia, masyarakat yang tak setuju dengan pembangunan pasar wisata itu, datang langsung untuk bermusyawarah. Dengan begitu, ia pun akan berkesempatan untuk menerangkan secara rinci mengenai perencanaan pasar wisata tersebut.
“Yah sebaiknya datang langsung kepada kami. Mari duduk bersama, dan saya akan menjelaskan perencanaannya,” saran kades.