BANDUNG – Komisi IV DPR RI berencana memanggil Kementerian Lingkungan Hidup dalam waktu dekat, untuk membahas revisi terkait Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Nomor P.39 /MenLHK/setjend/Kum. 1/6/2017 Tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani.
Anggota Komisi IV DPR RI Yadi Srimulyadi mengatakan usai masa reses ini pihaknya berencana membahas P.39 itu dalam rapat kerja Komisi IV untuk dikaji ulang. Yadi mengaku Kementerian LHK sendiri tidak mensosialisasikan P.39 itu ke Komisi IV DPR RI.
“Jangankan ke masyarakat secara luas, kami dari DPR RI sendiri tidak mendapatkan sosialisasi P.39 ini. Jadi saya sendiri tahunya baru sepotong-sepotong. Maka dari itu dari diskusi ini saya sebagai anggota Komisi IV DPR RI akan lebih banyak mendengar dan menampung aspirasi dari stakeholder terkait seperti dari para aktivis lingkungan,” ungkap Yadi kepada wartawan di sela diskusi Permen 39 LHK dan Dinamika Sosial di Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, Jl Naripan Bandung, Selasa (8/8/17).
Melihat dinamika sosial yang terjadi di lapangan, ia menegaskan P39 ini harus direvisi. “Harus benar-benar direvisi. Karena memang tidak semuanya jelek dalam P39 ini, ada yang baiknya. Yang kurangnya dikritisi, yang dianggap jelek kita perbaiki. Kita perlu revisi misalnya kalau ada pasal-pasal yang berpotensi merugikan masyarakat sekitar kawasan Perhutanan Sosial (PS),” kata anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan ini.
Yadi pun berharap agar forum dapat menyerahkan ke Komisi IV DPR RI untuk menuntaskan permasalahan ini. “Beri kami waktu minimal dua minggu untuk membahas masalah ini dengan Kementerian LHK. Permasalahan yang timbul dan tidak setuju dengan P39 kita bicarakan dulu di Komisi IV,” ucapnya.
Ditanya soal kordinasi Kementerian LHK ke Pemprov Jawa Barat dan Pemkab Bandung terkait PS ini, Yadi mengatakan sebaiknya Kementerian melakukan kordinasi.
“Bukannya harus kordinasi, akan tetapi sebaiknya Kementerian itu berkordinasi ke Pemprov dan Pemkab. Memang Peraturan Menteri itu wewenang Menteri, tapi alangkah baiknya dalam pelaksanaannya di lapangan berkordinasi dengan pemerintah daerah. Sebab kalau terjadi kerusakan lingkungan atau bencana misalnya, tidak mungkin orang luar Kabupaten Bandung atau Kementerian LHK yang langsung bertanggungjawab. Bagaimana Kementerian LHK mau tanggungjawab kalau tidak ada kordinasi ke pemda setempat?” kata dia.
Diberitakan sebelumnya, Permen LHK Nomor P.39 /MenLHK/setjend/Kum. 1/6/2017 Tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani menuai kontroversi di berbagai daerah, termasuk di Kabupaten Bandung. Permen itu dianggap tidak ada sosialisasi dan tidak melibatkan para stakeholder kehutanan terutama pegiat dan pelaku lingkungan lokal.
Permasalahan ini akhirnya dibawa ke Dinas Lingkungan Hidup Jabar untuk didiskusikan lebih lanjut. Dalam diskusi terjadi perdebatan sengit para pegiat lingkungan yang tidak bisa menutup emosinya sebab banyak permasalahan sosial yang timbul di lapangan akibat P39 ini. Bahkan para aktivis lingkungan dan kehutanan banyak yang menolak dan menuntut agar Permen LHK ini dicabut terlebih banyak bertabrakan dengan peraturan perundangan lainnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jabar Anang Sudarna menerangkan pihaknya menggelar diskusi ini untuk dijadikan momentum menyatukan langkah sehingga pengelolaan hutan di Jawa Barat ke depan bisa lebih baik.
“Kita cari cara terbaik, elegan dan berbudaya, agar sistem pengelolaan hutan ini bisa lebih baik ditinjau dari perspektif hukum, sosial, budaya dan dengan spirit kolaborasi,” terang Anang.