PACET, Balebandung.com – Di zaman serba cepat dan penuh teknologi, anak-anak perlu dibekali kemampuan berpikir kritis dan kreatif sejak usia dini. Pelajaran sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) menjadi salah satu pintu awal untuk membentuk cara berpikir tersebut. Namun, di berbagai sekolah dasar, termasuk di kelas 3, pembelajaran sains masih sering terbatas pada hafalan dan penjelasan dari guru saja.
“Sains itu bukan hafalan rumus. Sains adalah cara anak-anak memahami dunia melalui pengamatan dan pertanyaan,” ujar Dr. Ratna Wahyuni, dosen pendidikan sains dari Universitas Pendidikan Indonesia, dalam seminar pendidikan dasar di Bandung.
Anak-anak kelas 3 SD sedang berada dalam masa keemasan rasa ingin tahu. Mereka suka bertanya, melihat sesuatu secara langsung, dan mencoba hal-hal baru. Oleh karena itu, belajar sains pun sebaiknya dilakukan melalui kegiatan yang konkret, bukan sekadar membaca buku atau mengisi soal.
Di *SDN Asifa Asalam, siswa kelas 3 diajak melakukan proyek sederhana: menanam kacang hijau di dalam kapas basah. Setiap hari, mereka mengamati pertumbuhannya, mencatat tinggi tanaman, menggambar daunnya, dan membandingkan hasilnya bersama teman sekelas. Lewat kegiatan ini, siswa belajar tentang pertumbuhan tanaman, peran air dan cahaya matahari, serta pentingnya merawat makhluk hidup.
“Saya jadi tahu kalau biji itu bisa tumbuh kalau dikasih air setiap hari,” kata Dinda, salah satu siswa kelas 3 SDN Asifa Asalam yang antusias dengan proyek menanam ini.
Peran guru menjadi sangat penting untuk membimbing siswa kelas 3 agar aktif dalam proses belajar sains. Tidak harus selalu menggunakan alat laboratorium, guru bisa memanfaatkan benda sederhana yang mudah ditemukan.
Ibu Nuryanti, guru kelas 3 di SDN Asifa Asalam, rutin membawa peralatan rumah tangga ke kelas seperti gelas plastik, minyak goreng, dan sendok. Suatu hari, ia mengajak anak-anak bereksperimen mencampurkan air dengan minyak. Siswa lalu mengamati dan berdiskusi kenapa kedua zat itu tidak bisa bercampur.
“Kalau anak melihat langsung, mereka jadi lebih paham dan mudah ingat. Apalagi kalau mereka sendiri yang mencobanya,” jelas Bu Nuryanti.
Selain itu, guru juga mendorong siswa untuk *berani bertanya, berdiskusi, dan bercerita tentang pengalamannya*, karena proses berpikir kritis dimulai dari keberanian bertanya.
Belajar sains tidak berhenti di sekolah saja. Di rumah, orang tua bisa membantu memperkuat pemahaman anak lewat kegiatan sehari-hari. Saat memasak, anak bisa diajak mengamati air yang mendidih. Saat bermain di halaman, anak bisa melihat proses penguapan pada jemuran. Bahkan saat mandi, anak bisa diajak memahami bagaimana sabun bisa membersihkan kotoran.
“Saya suka belajar sambil bantu ibu masak. Ibu bilang kalau uap itu air yang menguap,” cerita Arya, siswa kelas 3 SDN Asifa Asalam.
Penggunaan video edukatif, lagu sains, atau aplikasi belajar anak-anak juga bisa menjadi media pembelajaran tambahan yang menyenangkan. Namun, pendampingan orang tua tetap diperlukan agar anak memahami isi dengan benar dan tidak sekadar menonton.
Pemerintah kini menerapkan *Kurikulum Merdeka*, yang memberi lebih banyak ruang kepada siswa untuk belajar melalui proyek, pengalaman langsung, dan kegiatan kelompok. Di SDN Asifa Asalam, kurikulum ini diterapkan dalam kegiatan kelas seperti membuat alat peraga, menggambar proses perubahan wujud air, dan diskusi kelompok kecil.
Siswa juga diajak untuk membuat *laporan sederhana* dari eksperimen mereka, lalu mempresentasikannya kepada teman-teman. Dengan begitu, anak tidak hanya memahami konsep, tapi juga belajar menyampaikan ide dan mendengarkan pendapat orang lain.
Meskipun tantangan tetap ada—seperti keterbatasan alat dan waktu—semangat guru dan dukungan orang tua menjadikan Kurikulum Merdeka sebagai peluang emas untuk membentuk siswa yang aktif, kritis, dan kreatif sejak dini.
Pelajaran sains tidak hanya untuk anak yang nilai ulangannya tinggi. Sains adalah milik semua anak, dari berbagai latar belakang. Yang penting adalah *cara mengajarkannya harus menyenangkan, sederhana, dan dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Anak-anak kelas 3 yang dibiasakan berpikir kritis akan tumbuh menjadi pelajar yang tidak mudah menyerah dan mau mencari solusi. Dengan pendekatan yang tepat, sains bisa menjadi pelajaran favorit yang penuh rasa ingin tahu, bukan sesuatu yang menakutkan.
“Sains bukan hanya ilmu pengetahuan, tapi cara hidup. Anak-anak yang belajar sains dengan cara yang menyenangkan akan tumbuh menjadi pemikir yang tangguh dan inovatif,” tutup Dr. Ratna.*** by Elni Nuraeni