Balebandung.com – Pada jaman penjajahan Belanda, dikisahkan lokalisasi yang bernama Saritem. Lokasinya di suatu stasiun kereta di Bandung, tepatnya di antara Jalan Astana Anyar dan Gardujati. Lokasi ini sudah dijadikan sebagai tempat lokalisasi sejak zaman kolonialisme Belanda.
Para Pekerja Seks Komersial (PSK) dipajang di setiap rumah dengan menggunakan kebaya khas pribumi. Tempat lokalisasi ini sudah berdiri sejak tahun 1838, kurang lebih tempat ini kini sudah berusia 233 tahun. Saritem menjadi dalang prostitusi sejak Zaman Belanda.
Nama Saritem diambil dari sebuah nama gadis desa khas Kota Kembang. Saritem yang bernama asli Neng Sari Iteung ini memang berparas cantik dan berkulit hitam manis. Pesona kecantikan Saritem yang mulanya berjualan jamu keliling ini acapkali memikat petinggi Belanda di masa itu.
Saking tergila-gilanya, Saritem kemudian dijadikannya gundik. Semenjak saat itu, Saritem yang awalnya hanya gadis kampung kemudian menjadi ‘Nyonya Belanda’. Namanya pun berubah menjadi Nyai Saritem.
Selang beberapa tahun, Nyai Saritem diminta oleh pembesar Belanda tersebut untuk mencari wanita yang bisa diajak kencan oleh para serdadu Belanda yang masih melajang. Kebetulan, pada saat itu daerah Gardujati memang dijadikan sebagai markas militer Belanda. Dalam misinya tersebut, Nyai Saritem difasilitasi sebuah rumah yang cukup besar.
Semakin hari perempuan-perempuan yang dikumpulkannya semakin banyak. Perempuan-perempuan tersebut berasal dari sekitaran Bandung, seperti Sumedang, Cianjur, Garut, Cirebon, serta Indramayu. Bisnisnya semakin besar, Nyai Saritem semakin terkenal. Bisnis lendir milik Nyai Saritem ini kemudian semakin berkembang pesat.
Pengunjung yang datang tak hanya berasal dari kalangan serdadu lajang. Para prajurit yang sudah lanjut usia juga kerap berkunjung ke tempat ini. Bukan hanya warga Belanda, kalangan pribumi juga tak sedikit yang berkunjung dan mencicipi bisnis Nyai Saritem ini.
Hal ini membuat teman-teman Saritem yang juga menjadi gundik tentara Belanda tertarik membuka usaha serupa. Mereka rata-rata perempuan bekas binaan Saritem. Meski Saritem telah meninggal, masyarakat mengenal lokasi itu dengan sebutan Saritem.
Di buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda karya Reggie Bay diceritakan, “Nyai” yang digunakan oleh Reggie Bay, berasal dari bahasa Bali. Penggunaan kata tersebut bersamaan dengan kemunculan perempuan Bali yang menjadi budak dan gundik orang-orang Eropa di wilayah pendudukan VOC pada abad ke-17.
Gundik bisa disebut juga istri tak resmi, perempuan simpanan. Atau perempuan yang difungsikan sebagai pelepasan nafsu birahi. Seorang wanita pribumi setelah menjadi nyai, setiap hari selalu khawatir menunggu giliran dibuang. Belum lagi saat harus dipisahkan dengan sang anak.
Mereka yang lebih memilih cinta dari pada pundi-pundi uang lelaki Eropa akan mendapat siksa. Mereka akan disalib di bawah terik matahari, agar tidak pingsan, daerah kemaluannya dilumuri cabai Spanyol yang telah ditumbuk.
Reggie Baay merupakan seorang penulis sekaligus publisis. Ia dilahirkan di Leiden pada tahun 1955, kedua orang tuanya yang dilahirkan di Indonesia. Sampai tahun 2005 menjadi redaktur majalah Indische Letteren dan telah mempublikasikan banyak artikel di bidang sejarah dan sastra kolonial.
Roman otobiografi Reggie Baay, yang berjudul De Ogen van Solo, diterbitkan pada 2006 di Belanda. Roman ini berkisah mengenai sejarah seorang ayah Indies dilihat dari kacamata sang anak. *** (berbagai sumber)
[…] Saritem berasal dari nama seorang Nyai yaitu Neng Sari Iteung yang disebut-sebut sebagai dalang prostitusi Bandung. Ia diberi misi oleh tuannya untuk mencari […]