Bale Jabar

Refleksi KI Jabar 2025: Ketika Dialog Tidak Menemukan Titik Temu

×

Refleksi KI Jabar 2025: Ketika Dialog Tidak Menemukan Titik Temu

Sebarkan artikel ini
Komisioner Komisi Informasi Jawa Barat saat dilantik di Gedung Sate Bandung.

BANDUNG, balebandung.com – Sepanjang tahun 2025, Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat telah menyelesaikan 503 permohonan sengketa informasi publik dari total 775 register sengketa yang ditangani.

Ini bukan sekadar deret angka administratif. Ini adalah kesaksian tentang amanah kekuasaan dan keberanian negara untuk hadir ketika hak warga diuji. Angka ini bukan hanya indikator kinerja kelembagaan, melainkan potret relasi negara dan warga dalam praktik keterbukaan informasi di tingkat daerah.

Ia merekam denyut demokrasi sehari-hari: bagaimana warga menagih haknya dan bagaimana negara menjawab atau terlambat menjawab tuntutan tersebut.

Capaian tersebut tidak dibaca semata sebagai keberhasilan menyelesaikan perkara, melainkan juga sebagai cermin tingkat literasi keterbukaan informasi publik, baik di masyarakat maupun di badan publik.

Di ruang sengketa, hukum tidak lagi berdiri sebagai teks normatif yang jauh, tetapi hadir sebagai mekanisme perlindungan hak. Di sinilah Pasal 26 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 menemukan maknanya: Komisi Informasi menjadi penyangga ketika mekanisme internal badan publik tidak lagi memadai, dan sengketa menjadi jalan terakhir bagi warga untuk memastikan hak atas informasi tidak diabaikan.

Jika ditelaah lebih jauh, komposisi 503 penyelesaian sengketa tersebut memperlihatkan kompleksitas persoalan di lapangan. Sebanyak 24 perkara berakhir dengan Akta Tidak Register (ATR) karena ketidaklengkapan administratif yang tidak dipenuhi pemohon dalam tenggat waktu yang ditentukan.

Fakta ini menegaskan satu hal mendasar: hak atas informasi berjalan beriringan dengan kewajiban mengikuti prosedur hukum. Akses keadilan mensyaratkan ketertiban, dan di titik ini negara masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk memastikan panduan dan asistensi awal benar-benar dipahami oleh masyarakat.

Sebanyak 153 perkara diselesaikan melalui Akta Batal Register (ABR) akibat pencabutan permohonan oleh pemohon sebelum proses mediasi atau ajudikasi berlangsung.

Baca Juga  TB. Hasanuddin Dorong KIP Buat Indexs Keterbukaan Informasi

Fenomena ini dapat dibaca secara ganda. Di satu sisi, ada sengketa yang menemukan jalan keluar di luar persidangan. Namun di sisi lain, angka ini juga membuka pertanyaan tentang efektivitas akses dan kenyamanan prosedur bagi pemohon.

Apakah pencabutan terjadi karena sengketa benar-benar selesai, atau karena proses dirasakan terlalu berat dan melelahkan? Di sinilah refleksi kelembagaan menjadi penting agar prosedur hukum tidak justru menjauhkan warga dari keadilan.

Sementara itu, 132 permohonan diputus melalui putusan sela karena salah satu pihak tidak memiliki legal standing. Fakta ini menunjukkan bahwa pemahaman hukum dasar terkait subjek dan objek sengketa masih perlu diperkuat, baik di sisi pemohon maupun badan publik.

Sengketa yang berhenti di tahap awal bukan hanya soal kalah atau menang, melainkan tanda bahwa literasi hukum belum sepenuhnya terbangun. Dalam perspektif tata kelola, kondisi ini adalah alarm bahwa pembinaan dan standardisasi layanan informasi belum berjalan optimal.

Di sisi yang lebih konstruktif, 79 permohonan berhasil diselesaikan melalui mediasi sepakat. Angka ini memperlihatkan bahwa pendekatan dialogis tetap menjadi instrumen efektif dalam penyelesaian sengketa informasi, sejalan dengan prinsip musyawarah dan penyelesaian damai.

Mediasi menunjukkan bahwa ketika komunikasi dibuka dan itikad baik hadir, sengketa tidak harus berujung pada koreksi yang bersifat konfrontatif. Namun mediasi juga menuntut kualitas: kesepakatan yang jelas, terdokumentasi, dan dapat dieksekusi agar benar-benar menghadirkan kepastian.

Selain itu, 46 permohonan diselesaikan melalui penetapan sengketa akibat pencabutan register setelah proses berjalan, dan 69 permohonan diputus melalui putusan ajudikasi.

Putusan-putusan inilah yang menegaskan peran Komisi Informasi sebagai lembaga adjudikatif nonlitigasi. Ketika dialog tidak menemukan titik temu, ajudikasi hadir untuk menghadirkan kepastian hukum, membangun preseden, dan menjaga konsistensi norma keterbukaan informasi agar pelanggaran serupa tidak terus berulang.

Baca Juga  Pancing Emosi Publik, Cucun Ahmad Syamsurijal Nilai Tayangan Trans7 Kesalahan BesarĀ 

Tingginya jumlah sengketa sepanjang 2025 tidak dapat dibaca semata sebagai beban perkara. Ia adalah indikator kesehatan tata kelola kelembagaan. Sengketa sering kali tidak lahir dari penolakan terbuka, melainkan dari diamnya sistem: permohonan yang tidak dijawab, keberatan yang dibiarkan tanpa respons. Dalam konteks ini, sengketa menjadi cermin bahwa mekanisme internal badan publik terutama fungsi atasan PPID belum berjalan efektif.

Sengketa adalah koreksi, bukan anomali; ia muncul ketika sistem gagal bekerja sejak awal.
Karena itu, keterbukaan informasi tidak boleh dipahami sebagai program tambahan atau beban administratif, melainkan sebagai infrastruktur pemerintahan.

Tanpa sistem layanan informasi yang tertata, pemerintahan akan terus berada dalam posisi reaktif. Sengketa seharusnya menjadi opsi terakhir, bukan mekanisme utama. Jika pola sengketa berulang dengan alasan yang sama, maka yang perlu dibenahi bukan hanya perilaku individual, melainkan arsitektur tata kelola informasi publik itu sendiri mulai dari desain layanan, kapasitas PPID, hingga kepemimpinan dan pengawasan internal.

Refleksi tahun 2025 menuntun pada satu kesimpulan penting: keberhasilan Komisi Informasi tidak diukur dari banyaknya sengketa yang diputus, melainkan dari kemampuannya mendorong perubahan perilaku kelembagaan.

Penguatan pra-registrasi, asistensi hukum awal, mediasi yang berkualitas, konsistensi putusan ajudikasi, sinergi lintas bidang, serta digitalisasi manajemen perkara bukan sekadar strategi teknis, tetapi ikhtiar untuk menghadirkan kepastian hukum yang berkelanjutan.

Dalam perspektif bernash, amanah adalah fondasi kepemimpinan. Informasi publik adalah bagian dari amanah itu. Kekuasaan yang menutup informasi tanpa dasar hukum yang sah bukan sedang menjaga stabilitas, melainkan menggerus kepercayaan. Keterbukaan informasi bukan ancaman bagi badan publik; ia adalah instrumen untuk memperkuat legitimasi dan membangun relasi yang sehat antara negara dan warga.

Baca Juga  Warga Jabar Diminta Doakan Masjidil Aqsa

Pada akhirnya, refleksi KI Jabar 2025 mengajarkan satu pelajaran mendasar: ketika warga berani bertanya, negara wajib menjawab. Sengketa bukan tujuan, melainkan koreksi. Bukan semata konflik, melainkan proses pembelajaran demokrasi.

Di sanalah keterbukaan informasi menemukan makna terdalamnya. Lahir sebagai hukum yang adil, dan batin sebagai amanah yang dijaga agar demokrasi bertumbuh di ruang yang terang, bukan di balik sunyi dan budaya ketertutupan. (Yn)

Example 300250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *