HUJAN masih melanda kawasan Bandung Selatan. Ancaman banjir masih menghantui saat ini karena efek La Nina mengakibatkan terjadinya kemarau basah. Seperti diketahui bersama di daerah hulu Citarum, di saat musim penghujan air menggelontor bebas merdeka ke sungai beserta lumpur yang tererosi. Lantas di saat musim kemarau beberapa daerah dilanda kekeringan. Ini akibat rendahnya air yang meresap ke dalam tanah, karena alih fungsi lahan.
Selain proyek gede-gedean seperti membuat danau retensi di daerah genangan banjir, maka solusi yang murah bisa diterapkan di daerah hulu. Di area perkebunan dan pertanian, tentu bisa dibuat embung-embung desa sebagai kolam penampungan air, menjadi tabungan untuk musim kemarau, terutama di daerah yang bertani secara tadah hujan.
Untuk di area pemukiman di desa-desa yang kian padat, di mana saat musim kemarau terjadi krisis air sehingga air harus dibeli dan didatangkan menggunakan mobil tanki, maka solusinya adalah dengan membuat sarana RWH (Rain Water Harvesting), yaitu membuat sarana penampungan “pemanenan” air hujan di setiap rumah. Air dari talang-talang rumah disalurkan melalui pipa dan disimpan dalam bak atau ground tank. Selanjutnya air bisa dimanfaatkan disaat musim kemaru melanda. Tentu secara sanitasi bisa dilakukan filtering agar air layak pakai.
Tentu untuk hunian pemukiman yang kian padat di desa-desa, akan sulit kalau setiap rumah membuat sarana RWH, maka solusinya adalah membuat sarana RWH Komunal, sehingga seperti juga untuk mengatasi masalah sanitasi di lahan padat diterapkan solusi septik tank komunal….manifestasi gotong royong.
Bagaimana untuk mengatasi banjir cileuncang di perkotaan ? Selain dengan sumur resapan dan biopori, maka RWH bisa dibuat di taman-taman. Air yang mengalir dari saluran drainase kota bisa langsung “ditabung” dalam groundtank di bawah taman, bukan dengan membuat kolam retensi yang perlu membebaskan lahan dan biaya mahal. Di saat kemarau melanda, tabungan air bisa untuk menyiram tanaman di taman-taman itu, bukan dengan menggunakan air dari mobil tanki yang tentu mahal biayanya.
Jadi kalau ada wacana membuat tol air untuk mengatasi banjir, itu hanya memindahkan “penyakit” dari satu daerah ke daerah lain….enak di elu ngak enak di owe ! by Denni Hamdani, pemerhati lingkungan.