BALEBANDUNG – Ketjap BANDOENG asalna BANDOENGAN, parahoe paranti ngaroengkeung heurap dina sitoe atawa wiletan. Ketjap BANDOENG minangka toengtoeng kapoedjian, tjara dina elmoe repok LOEMBOENG BANDOENG ; sabab sok kongas eusina loba.
BALE BANDOENG, nelah kana BALE tempat masamoan soeka-soeka, ngadegna : A. di tengah tjai, sitoe gede patamanan. B. ngadegna di tengah boeroean, tempat pasamoan semah, djoegdjoegan semah noe anggang. Ana naek dipantoenkeun, BALE BOEBOET ; toeloejna sok aja tandjakan noe bobogohan “koedoe ka BALE NJOENGTJOENG heula”, nja masigit (kawin).
Betapa banyak yang bisa diceritakan dari buku setipis 30 halaman ini. Mulai dari kisah sang penghulu kontroversial bernama Haji Hasan Moestapa, kisah penerbit Prawira-Winata, Tokoh Kiai Koerdi, Sejarah Bandung, Pantun Sunda, dan lainnya lagi.
Nama sang penghulu eksentrik yang tulisan-tulisannya dimuat dalam buku ini, KH. Hasan Mustapa, memang diabadikan menjadi nama satu jalan di Bandung sehingga banyak orang familiar dengan namanya.
Ada beberapa buku lain tentang sang Hoofdpenghulu Bandoeng (Kepala Penghulu Bandoeng), salah satunya yang paling berharga, namun kini sangat sulit didapatkan adalah “Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustafa” terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.
Langka karena diterbitkan oleh instansi publik di masa lampau dan jangan harap buku ini bisa dengan mudahnya dicetak ulang. Buku yang disusun oleh tim berisi Tini Kartini, Ningrum Djulaeha, Saini K.M., dan Wahyu Wibisana ini setidaknya memberikan review-review singkat atas karya-karya KH. Mustapa.
Masih ada buku lain yang sangat bagus, karya Ajip Rosidi berjudul “Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-Karyana” (Penerbit Pustaka, 1989). Andai beruntung, buku ini masih bisa didapatkan di toko buku. Tidak hanya me-review, Ajip juga memuat sebagian karya-karya KH Hasan Mustapa dalam buku ini. Termasuk teks buku Bale Bandung turut dimuatnya. Hanya saja karena buku ini seluruhnya menggunakan bahasa Sunda, aku tetap tertatih-tatih membacanya. Oleh karena itu mari kita tetap berpegang pada buku keluaran Departemen P dan K. saja.
Dikisahkan dalam buku “Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustafa” kesulitan tim penyusun untuk menelusuri seluruh karya-karya tulis Hasan Mustapa. Baik naskah asli, salinan maupun buku-bukunya yang umumnya dicetak terbatas. Buku Bale Bandoeng yang dicetak sebanyak 1.000 eksemplar pun dianggap sebagai salah satu bukunya yang paling umum. Padahal jumlah itu masih sangat sedikit untuk ukuran percetakan suatu buku. Sayangnya lagi, nasib naskah asli buku yang dipegang oleh keluarga Wangsaatmadja, sekretaris KH. Hasan Mustapa sejak tahun 1923 juga tidak kalah mengenaskan.
Menurut tim penyusun buku “Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustafa”, Pada tahun 1960 untuk memenuhi permintaan Prof Dr. Husein Djajadiningrat – yang menjabat pimpinan di Museum Pusat Jakarta, M. Wangsaatmadja mengetik ulang karya-karya Haji Hasan Mustapa. Hasil ketik ulangnya itu dibukukan dalam 18 jilid naskah yang semuanya diberi judul “Aji Wiwitan” dengan subjudul yang berlainan untuk setiap jilid.
Usaha Wangsaatmadja itu hampir menjadi sia-sia ketika dua rangkap hasil ketik ulangnya hilang dalam perjalanan pengiriman ke museum. Untungnya masih ada 17 naskah, alas dari ketikan ulang yang masih bisa ditelusuri oleh tim penulis. Dari 17 naskah tersebut, ada 10 yang sempat dicetak menjadi buku. Salah satunya buku “Bale Bandoeng” yang diterbitkan tahun 1924 oleh Toko Boekoe M.I. Prawira-Winata Bandoeng ini. Naskah lainnya yang tersisa berupa salinan atau fotocopy bahkan sebagian besar hanya bisa ditemukan di Leiden sana.
Penjelasan mengenai buku Bale Bandoeng ini akan kuambil dari buku versi Departemen P dan K dan Ajip Rosidi agar lebih representatif. Maklum, aku bukan penggemar sastra dan bukan pula pengguna bahasa Sunda yang baik sehingga sulit sekali bagiku menilai isi buku “Bale Bandoeng” ini seorang diri.
Buku Bale Bandoeng berisi surat-menyurat antara KH. Hasan Mustapa (9 buah surat) dengan salah seorang yang sepaham dalam bidang keagamaan, yaitu Kiai Kurdi dari pesantren Sukawangi, Singaparna (7 buah surat). Sang penyalin, Wangsaatmadja tidak meyebutkan apapun mengenai konteks surat menyurat itu. Ajip Rosidi memberikan catatan kritis terhadap cara Wangsaatmadja memilah dan membagi surat-surat Hasan Mustapa – Kiai Kurdi dalam buku Bale Bandoeng ini :
“Henteu aya katrangan, naon sababna eta surat-surat teh dibagi jadi tilu gunduk. Naha ku lantaran sawareh make titimangsa bae, pedah nu sawareh deui henteu,”.
Mengenai isi surat, walaupun membicarakan Islam, keduanya tidak membahas masalah tauhid sama sekali mengingat ilmu kedua koresponden sudah terlalu tinggi untuk membicarakan konsep dasar tersebut. Pada surat KH. Hasan Mustapa yang pertama ia menceritakan kunjungannya ke Tasikmalaya.
Menurutnya di Tasikmalanya paham agamanya tidak “laku”, bahkan tidak seorang pun mau bertanya tentang hal itu. Di Garut, kata KH. Hasan Mustapa pula, hanya ada orang memberi komentar bahwa paham KH. Hasan Mustapa ternyata tidak tampak walaupun “dibawa” oleh pemiliknya. Kiai Kurdi menjawab surat tersebut dan mengatakan seandainya dibawa ke Singaparna terdapat kesiapan rohani untuk menerima ajaran KH. Hasan Mustapa itu.
Dikarenakan baik KH. Hasan Mustapa dan Kiai Kurdi adalah ulama yang merangkap sastrawan. Mereka sangat terampil mempergunakan berbagai bentuk versivikasi Sunda, misalnya, sisindiran, wawangsalan, lagu-lagu kanak-kanak, dan prosa berirama, mereka pun mengenal dan taat mempergunakan kekayaan sastra dan budaya Sunda, yaitu dalam bentuk lambang-lambang dan citra-citra yang diambil baik dari mitologi maupun dari mitologi Sunda.
Oleh karena itu surat-surat mereka tidak hanya merupakan dokumentasi mengenai masalah yang bersangkutan tentang paham keagamaan yang hidup di Jawa Barat ketika itu, tapi juga merupakan karya sastra yang patut dihargai.
Geuwat akang geura tjatjang nja boweh rarang, siksik sing jadi saketi, tjatjang sing djadi salaksa, mawoer aloengkeun ka wahangan Tjitaroem, katebak angin oenggal lebak, kairid angin oenggal pasir, top baroedak djadi daoen kingkilaban.
Cepatlah Kakanda cincang boweh rarang (kain kafan), dipotong agar menjadi seketi, cincang menjadi selaksa, taburlah di kali Citarum, tertutup ke tiap lembah, terbawa angin ke tiap bukit, biar diambil, anak-anak agar menjadi cahaya matahari.
Kutipan surat di atas menyiratkan anjuran KH. Hasan Mustapa kepada Kiai Kurdi untuk mengajarkan paham agamanya. Di bagian lain, sang penghulu mengeluhkan menurunnya kehidupan rohani masyarakat saat itu, terutama di kalangan kaum ulamanya.
Wekasan-wekasan tjitra, ratoe Galoeh kataradjang ripoeh, menak Padjadjaran katardjang nyomah, Pakoe adji kalah ka ngadji, Tjiamis kari paitna, djongkona ngan kari tjongkok, leuwina ngan kari tjai, lakbokna ngan kari botrok, namna kari onomna, gandoean leungiteun kawoeng, samakna leungiteun pandan, kawoeng maboer tjaroeloekna, kiai leungiteun adjina, pandita ilang bagdjana, oesoel meakkeun asalna, kahoeroean napsoena.
Akhir akhir ini tak tepat janji, raja Galuh ditimpa musibah, raja Pajajaran menjadi rakyat, Paku Aji hanya mengaji melulu, Ciamis tinggal pahitnya, nyatanya hanyalah harimau akar, kalinya tinggalah air, rawa lakbok tinggal kotornya, anamnya tinggal onom (mahkluk halus), gunduan (gula) kehilangan pohon enau, tikar kehilangan pandan, enau ditinggalkan buah, kiai kehilangan kesaktiannya, pendeta hilang kebahagiaan, usul kehilangan asal, terbakar oleh nafsunya.
Kiai Kurdi dalam surat-surat balasannya lebih bersifat menguatkan dan melengkapi pernyataan-pernyataan KH. Hasan Mustapa, misalnya :
Oetjang-oetjang angge, ariloe djalan ka hoema kebon oerih roejeoeng djati; oerang-oerang hade! rek mariloe oge tjoemah ari teu teroes djeung ati.
Berjuntai kita berjuntai, ikutlah jalan ke huma, padang ilalang serta jati, marilah kita menjadi baik! Kalaupun ikut percuma saja, kalau tak sampai di hati
*******
Sekilas saja membaca kutipan tersebut aku langsung merasakan keindahan dan kedalaman kata-kata KH. Hasan Mustapa dan Kiai Kurdi. Tidak aneh apabila Hasan Mustapa bisa dikenal sampai ke mancanegara. “Kaoetarana djenenganana teh sanes moeng di Priangan bae, nanging ieu mah kawangikeun ka sebrang ka Palembang, malah doemoegi ka Eropa, djalaran boekoe karanganana sareng tatalepana bedja parantos doengkap ka dinja,” ujar M. I. Prawira Winata dalam pengantar untuk buku Bale Bandoeng.
Jenis Kiai (atau lebih sering disebut ustadz akhir-akhir ini) semacam Hasan Mustapa sudah langka saat ini. Ustadz sekarang lebih suka memperbanyak jam tayang di televisi daripada membuat karya-karya yang akan membuat dirinya dikenang sepanjang jaman, bukan hanya oleh pengikutnya melainkan untuk seluruh umat dan juga lingkungannya. “Jaman geus robih,” begitu keluh orang-orang paruh baya.
Kini tidak ada lagi pemuka agama sekelas penghulu yang menjadi rujukan ibadah orang sekota. Kini setiap orang bebas memilih penghulunya masing-masing, tidak memiliki penghulu pun tak apa. Sedihnya lagi gelar penghulu didegradasi hanya untuk mereka yang mengurusi pernikahan, padahal dahulu gelar ini sangat prestisius. Tidak sembarangan orang bisa menempati posisi ini.
Seperti terlihat pada sosok KH. Hasan Mustapa, keluasan pemahaman agamanya, kepekaan sosial dan kedalaman rasa seninya menjadikannya unggul di bandingkan penghulu lain di jamannya. Mungkin hanya R. M. Moesa, penghulu Garut, yang bisa disandingkan dengannya. Keduanya sama-sama memiliki ketertarikan terhadap sastra dan kedekatan dengan seorang Belanda pejabat penasehat Pemerintah Kolonial atas pribumi. R.M. Moesa dekat dengan K.F. Holle, sedangkan Hasan Mustapa dikenal dekat dengan Snouck Hurgronje.
Berbagai kisah mengenainya menunjukan keengganannya untuk terlalu dekat dengan lingkaran kekuasaan regent (Bupati) dan lebih sering terlibat di kegiatan Bale Nyungcung (Masjid Agung) yang menjadi pusat keagamaan saat itu. Sebagai penghulu, ia harus bisa menyelesaikan segala permasalahan terkait agama yang dialami warga Bandung.
Buku ini menunjukan ikatan yang kuat antara Hasan Mustapa, Kesundaan dan Bandung. by Santi Jehan Nanda
KH Hasan Mustapa
Hasan Mustapa adalah salah satu putra terbaik yang pernah dimiliki Bandung diluar segala kontoversi yang melingkupinya. Beliau lahir tanggal 5 Juni 1952 di Cikajang, Garut, merupakan keturunan pasangan Bupati Parakanmuncang , Tumenggung Wiratanubaya dan istrinya Nyi Mas Salpah.
Ketika berusia 7 tahun, Hasan Mustapa sudah dibawa ayahnya untuk menunaikan ibadah haji di Makkah. Setelah dewasa dan berkeluarga, ia kembali melakukan perjalanan haji ke Makkah. Ia tinggal di sana selama delapan tahun dan baru kembali ke pulau Jawa ketika berusia 30 tahun, yaitu tahun 1882.
Kepulangannya dilakukan dalam rangka menanggapi undangan Hoofd Penghulu Garut saat itu, R.H. Muhammad Moesa untuk membantu meredakan ketegangan antara ulama-ulama di Garut. Sejak itulah Hasan Mustapa berkenalan dengan para orientalis Belanda seperti Holle, Brands, dan Rinkes.
Sebelumnya ketika berada di Arab Saudi, Hasan Mustapa juga telah lebih dulu berkenalan dengan Snouck Hurgronje. Konon Hasan pernah melindungi Snouck yang saat itu terancam dibunuh oleh orang-orang Arab di Makkah. Oleh karena itu, hubungan keduanya semakin membaik sehingga pada tahun 1889 keduanya melakukan perjalanan keliling Jawa dan Madura. Saat itu Snouck telah menjabat sebagai Penasihat Belanda tentang masalah orang pribumi.
Selama tujuh tahun lamanya H. Hasan Mustapa mendapingi Snouck, hingga pada tahun 1983, atas usul Snouck, Hasan Mustapa diangkat sebagai Hood Penghulu di Aceh. Pemberian kepercayaan ini menuntut tanggung jawab yang besar karena jabatan tersebut di Aceh memerlukan keahlian dan kepandaian yang sangat mendalam mengingat kerasnya pemeluk Agama Islam di Negeri Aceh.
Namun Hasan Mustapa terbukti menjalankan amanat tersebut dengan baik, dan berhasil meraih kepercayaan masyarakat. Salah seorang pemimpin hulubalang terkenal, Teuku Umar bahkan memberikan kopiah, pedang dan cemeti kepada Hasan Mustapa sebagai bukti pertemanan. Jabatan sebagai Hoofd Penghulu di Aceh ini dipegang Hasan Mustapa dalam waktu yang relatif singkat, yaitu selama 2 tahun saja. Setelah itu ia segera mengisi jabatan Hoofd Penghulu di Bandung selama 23 tahun, antara tahun 1895 hingga tahun 1918. by Santi Jehan Nanda