Dipati Ukur; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Sunda [36]: Jatina Nagara, Sarang Ular dan Buaya

oleh -797 Dilihat
oleh
Di sarang ular dan buaya itulah kini wadya bala Sumedang-Ukur terpojok dan bermarkas
Di sarang ular dan buaya itulah kini wadya bala Sumedang-Ukur terpojok dan bermarkas

Balebandung.com – Umbul Tarogong menyentak tali kekang kudanya, menerjang ke depan menyambut serbuan pasukan Kompeni. Golok panjang ramping yang digenggamnya mengarah ke depan, siap menembus tubuh musuh. Begitu tiba di tengah-tengah para penyerbu tangannya sibuk membabat, menusuk, menjatuhkan sekian banyak pasukan musuh dalam sekali gebrak.

Dari sisi kanan Umbul Majalaya melompat menjatuhkan diri dari kuda dan langsung menyerbu pasukan Kompeni yang datang menyerang. Di tangannya tergenggam tombak bergagang pendek dengan kepala kujang yang secepat itu pula telah merah oleh darah. Ujung kujangnya kemudian berputar-putar membabat beberapa orang Cina yang merasa jumawa bisa merobohkannya. Alih-alih Umbul Majalaya, justru orang-orang bayaran bertaucang itu yang bergiliran kelejotan meregang nyawa.

Umbul Majalaya memutar tombak berujung kujangnya ke kanan, mengiringi putaran tubuhnya yang gesit. Terdengar tiga jeritan, menandakan tiga nyawa segera perlaya. Namun tak lama terdengar gelegar tembakan hanya berjarak dua meter dari tubuh Umbul Majalaya yang bergerak gesit laksana walet. Tampak dada Umbul seolah meledak memuncratkan darah.

Sebentar Umbul Majalaya terdiam, tegak seolah mengumpulkan segenap kekuatannya. Dengan teriakan mengguntur ia babatkan tombaknya memutar, membuat luka sabetan dalam di wajah dua orang serdadu Kompeni asal Bali. “Nagri Sunda, jaya di buana!” Teriaknya bercampur serak. Bersamaan dengan terjungkalnya dua orang budak Kompeni itu, tubuh Umbul Majalaya pun perlahan menggelosor ke tanah, kehilangan nyawa tempatnya bertumpu.

Di pasukan tengah, dengan mulut tak pernah terkatup Umbul Sagaraherang hari itu memberi makan kerisnya yang tak punya elukan, keris asli Pajajaran. Bras bres, keris itu menusuk dan menikam dada, perut dan lambung musuh, meninggalkan tubuh-tubuh lawan yang lantas meregang berkelojotan. Suara Umbul Sagaraherang yang dalam bernada bass seolah berkompetisi dengan erangan musuh-musuh yang berhasil ia jatuhkan. Seolah jampi, tapi bukan.

Bukan pula nyanyian pengisi waktu kosong. Mungkin semacam rajah yang ia lantunkan untuk mengumpulkan kesediaan, kesadaran dan ketenangan bahwa hidup pada akhirnya hanya menunggu datangnya kematian. Bahwa yang paling penting dalam hidup bukanlah dari garba mana dirimu keluar dan memperoleh harkat pada tatanan sosial. Yang lebih penting justru adalah bagaimana kamu mengisinya, serta dengan cara apa nanti dirimu melepas nyawa.

Baca Juga  Soal Pencalonan Bupati, Nia Naser; "Saya mah Selow Aja..."

“Ahuung, ka Sang Rumuhun. Ka Allah Nu Murbeng alam. Bismillahi, kalayan Asma Anjeun Nu Maha Luhur. Yeuh nyawa, deuh pati, aing teu ngaboga-boga. Ngan Anjeun nu mibanda hirup hurip kami. Mun enya ayeuna waktunya, nya ke sim abdi ngiwat nyawa musuh salobana.

Bismillah, dengan namaMu yang Maha Tinggi. Adapun nyawa dan mati, tak pernah aku merasa memiliki. Hanya Engkau yang mengurusi gerak-gerik kami. Bila saja memang waktunya hari ini, izinkan hamba mengambil teman sebanyak mungkin nyawa musuh,” kata Umbul Sagaraherang. Kalimat-kalimatnya yang teratur dan alunan nada saat melantunkan deretan kalimat itu membuatnya seolah tengah berpantun.

Dengan teriakan mengoyak telinga Umbul Sagaraherang melompat dan menancapkan kerisnya ke dada seorang serdadu mardijker. Keris itu menancap dalam, hampir tembus ke punggung. Secepat kilat keris itu ditariknya lagi untuk menahan serangan bayonet seorang ronin Jepang yang mengincar lambung kanannya.

Terdengar denting dua logam beradu, logam keris dan logam baja yang membangun sangkur. Suaranya menyakitkan telinga di sela berbagai teriak dan umpatan segala bahasa. Secepat itu pula keris itu membalik menyayat perut ronin Jepang tersebut, membuatnya seakan menerima sayatan seppuku, hanya kali ini minus tetakan di leher yang segera membebaskannya dari rasa sakit menjelang ajal.

“Jeddar!” bunyi tembakan flintlock mengagetkan Umbul Sagaraherang. Terasa ada yang panas menembus dadanya. Edan, pelor timah itu tembus juga melawan Aji Batara Karang yang ia miliki. Ah, apalah yang bisa melawan ajal bila ia sudah sampai? Yang jelas, kini tak ada lagi katugenah dan rasa penasaran. Ia sudah mencoba mengikuti jejak para kakek buyutnya, para nonoman Sunda yang penuh bangga perlaya di jalan jurit. Ternyata begini rasanya ditembus peluru. Tampaknya ini lebih baik dibanding ditembus keris, apalagi terpanggang tombak. Alhamdulillah, kata Umbul Sagaraherang, tersenyum.

Lalu dengan teriakan serak yang menegaskan nyawanya tinggal di ujung tenggorok, Umbul Sagaraherang melompat menjatuhkan dirinya ke kerumunan serdadu Kompeni. Sebelum tubuhnya berdebam menyentuh bumi, sabetan panjang kerisnya telah menjanjikan beberapa teman yang akan menemaninya ke alam kematian.

Baca Juga  Ajian Kabedasan

Ukur gemetar menyaksikan kematian satu demi satu orang-orang yang ia cintai dan mencintainya. Para sahabat yang sekian lama sama-sama mengabdi negeri. Negeri Sunda, beda dengan para menak lain yang sekadar turut hidup dengan berbakti kepada raja Jawa, mereka adalah orang-orang yang benar-benar bekerja untuk rakyat. Bukan para penjilat yang justru memeras keringat dan tenaga rakyat demi kepentingan mereka sendiri.

Ukur turun dari Si Sembrani, menepuk kuda itu agar menjauhi palagan jurit. Dengan segera dirinya bersedekap, memusatkan perhatian dan konsentrasi ke dzat yang Maha Tinggi. Ia melihat kondisi sudah kritis, dan memanggil Lodaya barangkali bisa menjadi solusi.

“Bismillahirrohmaanirrohiim..
Pun sapun dulur linuhung
Linuhung dangiang sihung
Sihung ahung kuku bengkung
Bengkung ngariung simana welang
Welang culang-caling tarang
Tarang kerung panon hurung
Hurung ngempur tanpa piruha
Piruha dangongna awak
Awak lempay buntut ngagebay
Ngagebay marengan gupay
Hiap Bujang, hiap lanjang
Cangreud pageuh tali gadang
Antara dia jeung kami
Papada asuhan Hyang
Pun sapun geura cunduk
Balungbang yap geura datang
Ahuuung…ahuuung..ahuung…”

Namun anehnya, tak terasa ada karuhun yang datang. Tak ada pertanada apa pun yang menunjukkan tanda-tanda kedatangan jirim dari dunia lain. Ukur kembali merapal jangjawokan pemanggil Lodaya, pengemat kedatangan harimau Jawa besar sebesar kerbau yang selama ini tak pernah mengecewakannya di saat-saat terdesak.

Untuk ketiga kalinya dicobanya kembali mantera lama itu ia bacakan dalam hati dengan perasaaan yang dibuat sekhusyuk mungkin. Tetap saja tak ada yang berubah. Biasanya, meski dalam badai teriakan dan keriuhan seramai apa pun, Ukur selalu merasa ada detik-detik yang sunyi, udara seolah beku, menyambut kedatangan sang Lodaya. Tapi kali ini tidak. Tak ada semua pertanda itu semua.

“Duuh, ini mungkin balasan perasaanku yang kadang mendua. Berdalih bahwa semua hanya demi dan atas nama Allah yang Maha Esa, sementara nyatanya kepada makhluk-Nya pula aku meminta bantuan,” kata Ukur membatin. Ia merasa telah begitu kotornya menjadi hamba yang menduakan Tuan, apalagi Tuan yang Maha Esa, Allah SWT.

Baca Juga  Pemberontakan Dipati Ukur

“Jangan biarkan pasukan kita mati sia-sia!” teriak Ukur sekerasnya. Teriakan yang tentu saja didengar seluruh wadya bala Sumedang-Ukur dan para pimpinannya. “Mundur! Mundur masuk ke rawa-rawa! Mundur, pilih pertarungan jarak dekat di rawa-rawa!”

Teriakan Ukur diulangi para pemimpin pasukan, kemudian menyebar secara estafet dari satu sisi pasukan ke sisi pasukan yang lain. Tak perlu dua kali, pasukan Sumedang-Ukur segera bergerak mundur menuju rawa-rawa Jatina Nagara. Ada banyak perdu dan tanaman rawa yang membuat mereka terhalang dari sasaran langsung moncong bedil dan flintlock para serdadu Kompeni. Mereka berharap para Kompeni itu sudah mengalami rasa haus darah sehingga gila dan menerjang mengikuti hingga ke mari. Di sini, di rawa-rawa ini mereka punya harapan untuk melawan bedil dibanding pertarungan jarak jauh yang jelas-jelas membuat kemampuan pribadi para prajurit Sunda seolah tak berarti.

“Awas hati-hati, buaya!” teriak beberapa prajurit di sebuah sudut rawa, diikuti teriakan ramai orang-orang seperti tengah merencah sesuatu. Pasti, mereka sudah membantai buaya itu. Hanya entah apakah ia sempat membunuh para prajurit Sunda atau tidak.

“Awas juga oray euy! Oray sanca! Awas ular, ular sanca!” teriak sekelompok prajurit di sudut lain. Rawa-rawa Jatina Nagara memang terkenal sanget. Tak hanya angker karena rimbunan pepohonan yang menutupinya, rawa-rawa itu telah lama dikenal sebagai sarang ular piton dan buaya. Pada bulan-bulan tertentu rawa-rawa itu bisa disusuri perahu saat air laut naik. Pada bulan tertentu pula airnya surut, menampakkan banyak akar pohon yang biasa hidup di rawa-rawa, berbongggol-bonggol menampakkan rupa mengerikan laiknya dedemit. Pada bulan-bulan surut itulah biasanya orang-orang Banten datang berburu buaya yang tengah marak-maraknya.

Di sarang ular dan buaya itulah kini wadya bala Sumedang-Ukur terpojok dan bermarkas. [bersambung/gardanasional.id]

No More Posts Available.

No more pages to load.