
Ternyata akhirnya Mang Oded Walikota Bandung yang baru, melakukan “perlawanan” terhadap kebijakan Walikota lama (Ridwan Kamil) yang sekarang menjadi Gubernur Jabar, terkait pencalonan Sekda Kota Bandung.
Padahal rekomendasi Kemendagri sudah turun, dan Gubernur meminta Walikota Bandung segera melantik Benny Bachtiar (Pjbt Pemkota Cimahi) sebagai Sekda Kota Bandung.
Bukannya melantik, malah Walikota Bandung menyampaikan surat keberatan sekaligus mengusulkan Ema Sumarna (Kadis Pendapatan Daerah Kota Bandung) sebagai Sekda Kota Bandung, dengan pertimbangan sinergitas birokrasi Pemkot Bandung, rekomendasi DPRD Kota Bandung, dan reaksi publik. Yang menarik Surat tersebut langsung disampaikan kepada Mendagri, dan tembusan kepada Gubernur.
Menurut Pakar Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan UNPAD Firman Manan (PR, Sabtu 6/10/18), sebagian kupasannya menyatakan bahwa “Oded telah mempertimbangkan bagian dari kewenangannya sebagai walikota Bandung. Dan tidak ada hierarki bhw walikota itu bawahan Gubernur”.
Dalam satu sisi saya sependapat, bahwa gubernur sebagai Kepala Daerah tidak ada hubungan hierarkis dengan bupati/walikota diwilayahnya. Namun gubernur dalam kapasitas sebagai Wakil Pemerintah Pusat memiliki kewenangan pembinaan dan pengawasan terhadap bupati/walikota. Bahkan gubernur berwenang mengevaluasi, mengoreksi, sekaligus membatalkan kebijakan daerah kab/kota.
Dengan demikian, dalam satu sisi, Mang Oded Walikota Bandung yang baru sebagai “USER” berhak untuk meninjau kembali Kebijakan Walikota Bandung yang lama mengenai pencalonan sekda ini, tapi tindakan yang dilakukannya dengan menyampaikan langsung surat keberatan, dan sekaligus mengusulkan pergantian nama Calon Sekda kepada Mendagri, sementara kepada gubernur hanya tembusannya, tidaklah tepat.
Karena berdasarkan UU No.5 Tahun 2014 tentang ASN dinyatakan bahwa “Calon Sekda yang akan ditetapkan bupati/walikota, terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Gubernur”. Dalam arti pengajuan kepada Mendagri harus melalui rekomendasi Gubernur.
Namun terlepas dari semua itu, dinamika pemerintahan seperti ini dapat dijadikan sebuah momentum pemahaman bersama bahwa penyelenggaraan Otonomi Daerah di NKRI ini menganut Hubungan Pusat Daerah yang bersifat interrelasi (saling keterkaitan) dan interdependensi (saling ketergantungan).
Meskipun terdapat pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah berdasarkan azas akuntabilitas,eEksternalitas, dan efisiensi, tapi dalam bingkai Negara Kesatuan RI, yang menggambarkan “pusatnya daerah, dan daerahnya pusat”.
Wallohu A’lam. by Drs. H. Djamu Kertabudi, M.Si, pengamat pemerintahan, Dosen STIA LAN RI Bandung.