Literasi Finansial Rendah, 42% Guru Akses Pinjol

oleh -8 Dilihat

Iklan “Pinjaman Cair Dalam Hitungan Menit” kini menghiasi layar ponsel masyarakat Indonesia hampir setiap hari. Di balik kemudahan digital itu, tersimpan realita kelam: tumpukan utang, bunga mencekik, hingga teror penagihan yang menghantui ribuan korban.

Fenomena ini bukan sekadar cerita individu, melainkan gejala sosial yang mencerminkan satu hal: rendahnya literasi finansial masyarakat Indonesia.

Jerat Cepat Cair, Ribuan Terperangkap

Siapa sangka, dari balik profesi mulia seorang guru, ternyata tersimpan catatan kelam sebagai korban pinjaman online (pinjol). Data terkini menunjukkan bahwa 42% korban pinjol ilegal adalah guru. Disusul oleh pekerja pasca-PHK (21%), ibu rumah tangga (18%), karyawan (9%), dan pelajar (3%). Tragisnya, sebanyak 28% pengguna bahkan tak tahu cara membedakan layanan legal dan ilegal.

Bukan tanpa sebab. Banyak dari mereka tergoda janji manis: cepat cair, tanpa jaminan, hanya bermodalkan KTP. Terlebih, kelompok usia 15–17 tahun—dengan indeks literasi keuangan terendah yakni 51,7%—menjadi sasaran empuk pinjol ilegal. Kemudahan akses digital dan lemahnya pemahaman menjadikan generasi muda sebagai korban berikutnya.

Belanja Online Jadi Lubang Utang Baru

Remaja kini tak lagi perlu ke mall. Cukup buka aplikasi Shopee, TikTok Shop, atau Tokopedia, semua barang idaman tinggal klik. Belum punya uang? Gunakan saja fitur “Paylater”. Barang datang, cicilan belakangan. Inilah potret baru budaya konsumtif yang diam-diam menyusup ke dalam gaya hidup pelajar dan mahasiswa.

Sayangnya, sedikit yang menyadari bahwa di balik “kemudahan” itu tersembunyi jebakan bunga tinggi dan denda keterlambatan. Tanpa pemahaman finansial yang memadai, tren ini justru mendorong remaja ke jurang utang sejak dini.

Mengapa Pinjol Begitu Menggoda?

Bukan hanya gaya hidup konsumtif yang jadi penyebab. Realitas ekonomi juga berperan besar. Banyak masyarakat terpaksa mengajukan pinjaman karena kebutuhan mendesak: biaya berobat, pendidikan anak, kehilangan pekerjaan, hingga modal usaha. Di tengah krisis, pinjol yang menjanjikan pencairan dana dalam lima menit terasa seperti penyelamat.

Baca Juga  Tingkatkan Minat Baca Melalui Satali

Namun, keputusasaan sering mengaburkan pertimbangan. Banyak peminjam tak sempat mengecek legalitas aplikasi melalui situs Otoritas Jasa Keuangan (OJK), atau memahami skema bunga dan penalti. Hasilnya? Jerat utang makin menyesakkan.

Lalu, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Pertanyaan besar pun muncul: siapa yang salah? Masyarakat? Penyedia layanan? Atau pemerintah? Jawabannya: semua pihak memegang peran.

OJK, Kominfo, dan Bank Indonesia menjadi garda depan perlindungan konsumen digital. OJK bertugas memberi izin dan mengawasi fintech legal. Kominfo bertanggung jawab memblokir aplikasi ilegal, sementara BI mengatur sistem pembayaran digital. Sayangnya, koordinasi antarlembaga kerap tak maksimal. Penindakan lambat, korban terus berjatuhan.

Penyedia layanan keuangan digital juga tak bisa lepas tangan. Mereka wajib memastikan transparansi, keamanan data pengguna, dan edukasi pengguna. Beberapa platform memang telah menyertakan simulasi cicilan dan pengingat risiko, tapi banyak pula yang hanya mengejar profit, mengabaikan perlindungan konsumen.

Tak bisa dipungkiri, masyarakat juga memikul tanggung jawab. Edukasi diri menjadi kunci. Memahami hak sebagai konsumen, mengecek legalitas aplikasi, hingga belajar menyusun anggaran dan dana darurat adalah bekal penting di era digital.

Namun, apakah adil menyalahkan masyarakat yang tak pernah diajarkan soal bunga, denda, atau legalitas pinjol?

Realitas ini membuka mata bahwa literasi finansial tidak bisa ditunda. Sekolah dan lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab moral dan strategis. Materi keuangan harus menjadi bagian kurikulum. Anak-anak dan remaja perlu belajar tentang tabungan, pinjaman, cicilan, hingga investasi sejak dini.

Jika tidak, generasi masa depan hanya akan menjadi korban berikutnya dalam lingkaran utang digital yang menjerat.

Masyarakat tidak perlu disalahkan. Mereka butuh bimbingan, perlindungan, dan edukasi. Negara harus hadir lewat program literasi finansial nasional yang merata hingga ke desa dan daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Media dan tokoh masyarakat juga harus terlibat aktif dalam kampanye penyadaran risiko pinjol ilegal.

Baca Juga  Wakil Ketua DPR RI Saksikan Deklarasi Ratusan Warga Kab Bandung Siap Perangi Judol dan Pinjol Ilegal

Pinjol tidak akan berhenti bermunculan. Tapi masyarakat bisa lebih siap menghadapinya—bukan dengan larangan, tapi dengan pengetahuan. Literasi finansial bukan pilihan, tapi kebutuhan.

Ketika semua pihak saling bersinergi—pemerintah, industri, masyarakat, dan sekolah—barulah Indonesia bisa keluar dari jerat utang digital yang kian menjerat leher rakyatnya.*** by Salma Fauzi Sani

No More Posts Available.

No more pages to load.