
Balebandung.com – Saat pagi itu Murjangkung membuka jendela kamarnya, ia tahu dirinya sudah mulai berhadapan dengan hari yang buruk. Bau busuk dari sungai kecil yang penuh lumpur serta bangkai aneka binatang buangan seperti kucing dan anjing, segera menyergap lubang hidungnya.
Belum lagi ruap tahi kering yang ia lihat teronggok hanya selangkah dari jendelanya, menguar karena udara panas. Ia geram, tentara mana yang berani-berani berak di bawah jendela kamarnya? Apakah orang-orang mardijkers yang saban hari merusak kupingnya dengan bahasa setan Portugis Kreol itu? Atau orang Tiongkok, atau para budak asal Bali, atau tentara sewaan dari Ambonkah yang berak seenaknya semalam? Haram jadah, pikirnya.
Kepala Murjangkung kian jangar[1] saat ingat laporan ajudannya, Kapten Van Vessel semalam. Laporan itu mengatakan bahwa seorang telik sandi di Tanjung Bungin, di wilayah sebelah timur Baghasasi yang bernama Caravam[2] memergoki serombongan pasukan Mataram terlihat mondar-mandir di wilayah itu.
“Mereka berada sekitar seribu langkah dari gudang garam persediaan kita di Tanjung Bungin,” kata van Vessel semalam. “Mereka mengutus seseorang untuk mengamat-amati gudang itu.”
Gudang garam itu memang milik VOC, dijaga oleh sepasukan tentara Ambon bersenjata bedil dan bayonet. Selama bertahun-tahun berdiri belum ada yang mencoba-coba mengganggu. Takut kena pelor orang-orang Ambon yang tak jarang bertugas jaga dengan kepala berat, dibebani berteguk-teguk arak yang ditelan untuk melupakan kerinduan akan kampung halaman, anak-istri dan perasaan nyeri di dalam akibat terlalu sering membunuhi bangsa sendiri.
Murjangkung belum pernah datang sendiri ke wilayah itu. Namun sebagai bagian dari tugasnya, ia telah banyak membaca literatur berkenaan dengan wilayah tersebut. Sebenarnya namanya kini bukan lagi Caravam, melainkan Karawang. Nama yang jelas-jelas lebih gampang diucapkan para bumiputera.
Sebuah lembaran data yang berasal dari catatan pelaut Portugis seabad sebelumnya, yakni de Barros dan Tome Pires, menegaskan ada sebuah pelabuhan laut dan pelabuhan sungai yang ramai di wilayah itu. Pelabuhan sungai itu berada di sungai Ci Tarum, yang memisahkan wilayah Jayakarta di satu sisi dan Caravam di sisi lain. Pires menulis bahwa di pelabuhan itulah kapal-kapal dapat berlabuh dengan aman, terlindung dari ombak besar dan angin.
“Hm, ada apa orang-orang Mataram berkeliaran sampai kemari?” Murjangkung membatin. Namun ia ingat, hubungan kompeninya dengan Keraton Mataram memang tak pernah baik, dan saat ini tengah buruk-buruknya setelah insiden yang terjadi di Jepara itu. Murjangkung yakin, rombongan pasukan Mataram di Karawang pun terkait erat dengan insiden tersebut.
“Van Vessel!” teriak Murjangkung, masih dalam balutan piyama tua jahitan mamanya di Belanda, yang selalu diwanti-wanti untuk selalu dipakainya. “Minta Komandan Burgerlijke Krijgsraad[3], Kolonel Nicool Cruel kirim pasukan berkuda ke Karawang!” katanya setelah ajudannya itu datang. “Cari tahu mau apa orang-orang Mataram itu!”
***
Di Keraton Mataram, Kanjeng Susuhunan Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo sedang masygul. Ia merasa ada yang janggal pada peta dataran yang ada di hadapannya. Di sebentang pulau Jawa yang tengah dicermatinya itu, ada bagian yang warnanya lain dibanding warna seluruh dataran Jawa yang lain. Warna wilayah Kerajaan Banten dan Batavia.
Ya, tidak sebagaimana daerah-daerah lain, kedua wilayah itu memang tidak berada dalam kewenangan pemerintahan Mataram. Madura juga sebenarnya. Hanya apalah arti Madura yang secara geografis pun terpisah dari bentang pulau Jawa? Artinya kalau warnanya lain pun tidak merusak gambaran penuh pulau Jawa. Ini Banten dan Batavia?
Warna area yang beda itu membuat peta yang dimintakannya kepada dua kartografer Portugis yang khusus didatangkannya untuk membuat peta kerajaannya, menjadi terlihat ganjil. Ibarat ada noda kecil di sebuah ghamis putih. Noda, yang menurut seorang yang nyinyir bisa berkata bahwa seluas apapun Mataram, toh sebuah noda kecil saja tak mampu ia bersihkan hingga peta itu mulus. Hingga baju itu putih tak lagi bernoda.
“Kedua bangsa pengganggu ini harus Mataram bersihkan,” kata Sultan membatin. “Dan mustahil menyerang Banten tanpa lebih dulu membuat VOC yang berpusat di Benteng Batavia, penghalang jalan menjuju Banten, tak dibuat bertekuk lutut.”
Sultan tahu, merebut Batavia dari tangan VOC tidaklah mudah. Ia menghitung jarak Mataram ke Batavia tak kurang dari 90 hari perjalanan kaki pasukan. Butuh persiapan logistik yang matang. Untuk itu harus ada kantong-kantong logistic yang mampu menyuplai persediaan makanan, padi terutama, bagi tentara Mataram.
Itulah sebabnya, sejak empat tahun sebelumnya–pada 1624, dirinya memerintahkan Senapati Surengrono alias Aria Wirasaba dari Mojo Agung, wilayah Surabaya, berangkat ke Karawang. Pasukannya terdiri dari seribu prajurit dan keluarga mereka, dikirim selama berbulan-bulan antaranya, agar tak terlihat mencurigakan.
Mereka saat ini sudah mendirikan tiga desa dengan diam-diam, mengubah tanah Karawang yang berawa-rawa penuh nyamuk malaria itu menjadi sawah-sawah subur. Sultan mendapatkan laporan bahwa kehidupan para prajuritnya di tiga desa bentukan itu, Desa Waringin Pitu atau Desa Teluk Jambe, Desa Parakansapi [4] dan Desa Adiarsa, sekarang telah sejahtera. Ratusan lumbung padi mereka penuh-penuh. Tak ada yang berani merampok,setelah tahu nyaris semua warga ketiga desa itu memiliki ilmu kanuragan dan olah jurit yang tinggi.
Yang membuat Sultan Agung kecewa, hingga kini Aria Wirasaba belum juga melaporkan perkembangan tugasnya. Itulah yang membuat Sultan tiga bulan lalu mengutus sekelompok telik sandi berkuda. Salah satunya untuk melaporkan bagaimana perkembangan tugas Aria Wirasaba. Jangan-jangan dia hanya mencari gadis-gadis Karawang yang terkenal botoh-botoh itu, lupa akan tugasnya. Atau yang lebih parah, jangan-jangan dia ganti kesetiaan!
“Hm, haruskah kuminta orang membawa kepala si Wirasaba ke sini,” pikir Sultan.
Seorang telik sandi melaporkan bahwa selama bertugas ke Karawang ia berkenalan dan akrab dengan seorang kiai penyebar agama Islam di wilayah yang masih dipenuhi warga setempat penganut agama Sunda. Kiai itu cucu seorang ulama besar asal Kerajaan Champa yang memiliki kekerabatan dengan Sunan Gunung Jati. Namanya Syekh Hasanudin bin Yusup Idofi, atau di wilayah setempat dikenal dengan nama Syekh Quro.
“Ulama dengan sekian ribu santri, yang merupakan cucu ulama besar yang sangat berpengaruh itu siap mendukung penyerangan kepada VOC di Batavia,” katanya melaporkan. Kini Sultan tepekur di singgasananya. Ibarat bermain catur dalam kepalanya sendiri, Sultan mempertimbangkan apa yang harus dilakukannya berkenaan dengan Karawang, VOC, dan Aria Wirasaba. [bersambung/gardanasional.id]
[1] Pengar atau pusing berketerusan
[2] Kini wilayah yang dulu membentangi area Karawang, Purwakarta, sebagian Bekasi dan Subang itu bernama Karawang.
[3] Dewan Masalah Perang
[4] Desa yang terletak di Kecamatan Pangkalan, Purwakarta itu saat ini terendam Waduk Jatiluhur