
BALEBANDUNG – Buku Letjen TNI (Purn) Achmad Wiranatakusumah: Komandan Siluman Merah, ditulis oleh Aam Taram R.H, Sastanegara, dan Iip D. Yahya dengan editor Hendri F. Isnaeni. Dalam buku tersebut tercatat, Achmad Wiranatakusumah berperan penting dalam berbagai peristiwa sejarah Indonesia.
Pada masa itu, ia telah menyadari bahwa Indonesia akan merdeka. Untuk mempertahankan kemerdekaan, Achmad membangun pasukan Siluman Merah di Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung.
Pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Aom Achmad bersama pasukannya Batalion Siluman Merah A3W (Ayax en drie Willem, kontak radio Achmad) bergabung dengan Divisi Siliwangi dalam rangka mempertahankan kemerdekaan RI.
Saat menghadapi agresi militer Belanda pertama (21/7/1947), Yon A3W bergerak di wilayah selatan Bandung, ikut mempertahankan wilayah basis yang meliputi Soreang, Ciwidey, Banjaran, dan Majalaya. Mereka mengambil markas di Barutunggul, Ciwidey.
Dalam perjalanan yang panjang dan lama, bersama pasukannya harus menghadapi dua musuh sekaligus, yaitu Belanda dengan agresi militernya dan menghadapi gerakan APRA Westerling, serta gerakan pemberontakan dari dalam.
Berhasil merepotkan pasukan Belanda, petualangan Siluman Merah berlanjut pada penumpasan pemberontakan PKI di Madiun.
Sebagai konsekuensi perjanjian Perjanjian Renville (17/1/1948), bersama pasukan Siliwangi yang lain, Yon A3W berhijrah di ibukota perjuangan Yogyakarta. Misinya, memburu para PKI. Mereka mengambil markas di Pabrik Gula Beran, Sleman. Setelah kebijakan Re-Ra (restrukturisasi dan rasionalisasi), maka Batalion A3W berada di bawah Brigade XII Divisi Siliwangi.
Sebagai komandan, Mayor Achmad dibantu oleh Dingdung Suriadinata sebagai kepala staf dan ditopang oleh empat komandan kompi, yaitu Poniman, Soemitro, HR Dharsono, dan Alex Prawiraatmadja.
Mereka bergerak dengan rute Yogyakarta-Solo-Tawangmangu-Sarangan-GorangGareng-Ponorogo-Pacitan. Yon A3W memburu PKI secara spartan, mereka terus berjalan untuk terus mengejar para pemberontak. Selama dalam pengejaran mereka terlibat dalam 9 kali pertempuran sengit.
Satu di antara pertempuran dengan PKI yakni ketika Yon A3W melakukan pengejaran terhadap PKI di Ponorogo. Pasukan PKI yang berjumlah satu brigade bergerak menuju Pacitan, dikejar oleh pasukan Aom Achmad.
Ia lalu memerintahkan pengejaran dengan metode “blitzkrieg”. Musuh dikejar terus tanpa berhenti secara maraton. Selama tiga hari tiga malam Yon A3W bertempur dengan PKI.
Di Pacitan Yon A3W juga berhasil membebaskan ratusan tahanan yang akan dieksekusi oleh PKI. Di antara tawanan yang dibebaskan itu, terdapat sesepuh dan kiai-kiai muda Pesantren Tremas di Pacitan.
Selama 20 hari Yon A3W menjaga Pacitan. Yon A3W juga menjadi pasukan Siliwangi terakhir yang kembali ke Jawa Barat dengan melakukan long march.
Sebagai Komandan Batalion Siluman Merah, ia menjalani peristiwa penting bagi Divisi Siliwangi yaitu hijrah ke Jawa Tengah dan longmarch kembali ke Jawa Barat. Aom Achmad memimpin rombongan terakhir yang terbesar mencapai 2.500 orang.
Selain menumpas pemberontakan PKI di Madiun, Aom Achmad juga terlibat dalam penumpasan gerakan lainnya yang merongrong kedaulatan dan Pemerintah Republik Indonesia, seperti gerakan Republik Maluku Selatan (RMS), merancang strategi melawan DI/TII, menggagalkan gerakan Zulkifli Lubis, dan memegang kendali di Kostrad saat peristiwa G30S 1965.
Operasi Trikora-Dwikora
Aom Achmad juga dipercaya mengatur strategi Operasi Trikora dan Dwikora, mendirikan Kostrad, memimpin Lajistrad dan Wanhankamnas. Dalam rangka Trikora, ia mendapat tugas membangun Tjaduad (Tjadangan Umum Angkatan Darat) yang kemudian menjadi Kostrad. Menjabat Kepala Staf dengan komandannya Mayjen TNI Soeharto. Pasca Operasi Trikora, ia ditunjuk menjadi Ketua Tim Serah Terima Kekuasaan atas Irian Barat dari Belanda kepada Indonesia.
Setelah pada 1962 sukses mengembalikan Irian Barat yang sisi militernya dikendalikan oleh Panglima Komando Mandala, Mayjen TNI/AD Suharto, Indonesia diprovokasi Inggris dengan rencana pembentukan Malaysia sebagai Negara Persemakmuran (commonwealth) Inggris Raya.
Presiden Sukarno merasa ada upaya pengepungan terhadap Indonesia karena Malaysia akan rentan terhadap pangkalan militer asing. Pada 3 Mei 1963 Presiden Sukarno mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) untuk menggagalkan pembentukan Malaysia.
Dalam sidang KOTI (Komando Operasi Tertinggi) pada pertengahan Mei 1963 yang dipimpin oleh Kepala Staf KOTI/ Menpangad, Letjen A.Yani, ditetapkan Menpangau Laksdya Udara Omar Dani sebagai Panglima Komando Siaga / Koga (lalu menjadi Komando Mandala Siaga/Kolaga) dan dilantik Presiden Sukarno.
Dalam pelaksanaan operasi militer di perbatasan maupun penyusupan ke wilayah Malaya, Pangkolaga merasa kurang mendapat dukungan dari pihak TNI/AD.
Wapang Kolaga Brigjen Achmad Wiranatakusumah yang sudah bekerja keras kurang mendapat sambutan dari koleganya di Angkatan Darat khususnya Kostrad, meskipun ia juga sebagai Kepala Staf Kostrad. Pangkostrad dijabat oleh Mayjen Suharto.
Benih G30 S/PKI
Laksdya U Omar Dani menyimpulkan meskipun diadakan diskusi terbuka, ketiga Angkatan Laut, Udara dan Kepolisian tetap belum merasakan adanya kemajuan dan perbaikan di dalam Angkatan Darat.
Sebagai Pangkolaga Laksdya U Omar Dani sering mendengar dari Wapangkolaga Brigjen Achmad Wiranatakusumah tentang keadaan di internal TNI/AD. Setelah dihubungkan dengan sikap TNI/AD yang tidak bersungguh-sungguh dalam konfrontasi terhadap Malaysia, memperkirakan bahwa di internal TNI/AD ada kelompok Perwira Tinggi yang kurang mendukung kebijakan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI. Ada pula kelompok lain yang umumnya perwira menengah ke bawah yang merasa tidak puas dengan pimpinan dan berupaya untuk memperbaiki keadaan internal serta meningkatkan kesejahteraan tentara.
Keadaan menjadi berubah di mana Angkatan Darat khususnya Kostrad memberi dukungan pada Suharto dalam melakukan sejumlah perubahan dan rencana di dalam Kolaga yang semula ditolak oleh Pangkolaga.
Bahkan Mayjen Suharto secara terbuka di dalam rapat dengan Presiden, Waperdam dan Menkohankam/KSAB memberikan penilaian terhadap Laksdya U Omar Dani sebagai kurang tepat menduduki jabatan Pangkolaga.
Presiden Sukarno memutuskan untuk melakukan perbaikan-perbaikan di dalam sistim yang berlaku, tetapi tetap mempertahankan Laksdya U Omar Dani sebagai Pangkolaga.
Kemudian Mayjen Suharto bertindak lebih lanjut dengan berinisiatif sendiri secara diam-diam membuka hubungan dengan pihak Malaysia. Ia mempercayakan pelaksanaannya kepada Brigjen Ali Murtopo yang segera menghubungi Des Alwi, anak angkat Bung Hatta dari Ternate, yang menetap di Kuala Lumpur sejak operasi militer terhadap PRRI/PERMESTA.
Dalam pada itu hubungan antara Presiden Sukarno dengan Menkohankam/KSAB Jenderal A.H.Nasution juga sudah mulai merenggang.
28 September 1965. Kolonel A. Latief, Danbrigif-I/Jayasakti Kodam-V Jaya yang telah menjalin hubungan dengan Biro Khusus CC PKI, mengaku menemui Pangkostrad Mayjen Suharto untuk melaporkan akan adanya suatu gerakan. Laporan ini tidak ditanggapi oleh Pangkostrad.
Lepas tengah hari, Men/Pangau Laksdya U Omar Dani menghadap Presiden Sukarno di Istana Negara, melaporkan bahwa ia mendengar adanya para perwira menengah dan bawahan di TNI/AD yang tidak puas terhadap pimpinan, dan memohon segera dicarikan solusinya oleh presiden sebelum mereka melakukan gerakan.
Presiden yang baru mencukur jenggot di depan kaca berfikir sebentar, lalu menjawab bahwa ia akan menyelesaikan persoalan itu nanti tanggal 3 Oktober 1965.
Di luar ruangan Men/Pangau memerintahkan Komodor U Leo Wattimena membuat surat panggilan kepada Pangkopur-II/Kolaga, Brigjen Supardjo, agar menghadap presiden di istana Bogor pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965.
Dalam pandangan Men/Pangau/Pangkolaga Laksdya U Omar Dani, sosok Brigjen Supardjo yang kebetulan Pangkopur di Kolaga itu mewakili kelompok perwira yang tidak puas terhadap pimpinannya di TNI/AD.
Mereka sering bertemu dalam fungsi pelaksanaan Komando Mandala Siaga, dan Laksdya U Omar Dani menilai Brigjen Supardjo memiliki sifat agresivitas yang lebih dibanding Wapangkolaga Brigjen Achmad Wiranatakusumah.
Perseteruan di internal TNI AD seperti yang disampaikan Brigjen Achmad Wiranatakusumah kepada Men/Pangau Laksdya U Omar Dani inilah yang juga menjadi salah satu faktor pecahnya Gerakan 30 September/PKI. Brigjen Achmad Wiranatakusumah, memegang kendali di Kostrad saat peristiwa G30S 1965.***berbagai sumber
Mengingat Kostrad, Mengenang Letjen TNI (Purn) Achmad Wiranatakusumah
Mengingat Kostrad, Mengenang Letjen TNI (Purn) Achmad Wiranatakusumah (3)