PACET, Balebandung.com – Di tengah maraknya gawai dan konten digital yang membanjiri kehidupan anak-anak, MI Assalam Pacet Kabupaten Bandung justru memilih jalan sunyi yang sarat makna: membangun budaya literasi dari ruang-ruang kelas sederhana. Sekolah yang terletak di kaki Gunung Gede ini menjadi potret perjuangan pendidikan di tengah keterbatasan.
Dengan semangat “Sedikit fasilitas, banyak inisiatif”, MI Assalam menanamkan kebiasaan membaca pada siswa sejak dini. Setiap pagi, sebelum pelajaran dimulai, para siswa duduk rapi membuka buku masing-masing. Kegiatan “15 Menit Membaca Sebelum Belajar” menjadi rutinitas harian yang ditunggu-tunggu.
Buku yang dibaca pun beragam: dari dongeng nusantara, cerita fabel, hingga buku pengetahuan bergambar. Anak-anak larut dalam kisah, membayangkan dunia lain yang disajikan lewat halaman demi halaman.
“Kami percaya bahwa jika anak-anak dibiasakan mencintai buku sejak kecil, maka mereka akan tumbuh menjadi pembelajar mandiri,” kata seorang guru MI Assalam yang juga penggerak kegiatan literasi sekolah.
Tidak memiliki gedung perpustakaan tak membuat sekolah ini berdiam diri. Di salah satu sudut bangunan kelas yang sederhana, berdirilah Perpustakaan Mini. Rak-rak kayu sederhana menampung puluhan buku sumbangan dari orang tua, guru, dan komunitas literasi lokal. Tiap kelas juga memiliki sudut baca—area kecil tempat siswa bisa membaca di waktu istirahat.
Kegiatan literasi tak berhenti pada membaca saja. Guru-guru di MI Assalam aktif membacakan cerita, membuat kuis ringan dari buku yang dibaca, hingga mengadakan lomba storytelling untuk melatih keberanian dan daya tangkap siswa. Di sekolah ini, guru bukan sekadar pengajar, tapi juga sahabat membaca dan teladan literasi.
Meski semangat tinggi, sekolah masih menghadapi tantangan besar: keterbatasan bahan bacaan yang menarik dan sesuai usia anak. Buku-buku yang ada mulai usang, dan belum banyak koleksi baru yang masuk. Namun MI Assalam tidak tinggal diam. Mereka aktif menjalin komunikasi dengan orang tua dan komunitas, membuka peluang donasi buku, dan merancang program gotong royong pengembangan literasi.
“Satu buku bisa mengubah cara pandang anak. Maka satu buku sangat berarti di tangan anak-anak kami,” ujar guru lainnya dengan mata berbinar.
Kisah MI Assalam Pacet memberikan pelajaran penting: budaya membaca tidak tumbuh dari gedung besar atau anggaran melimpah. Ia tumbuh dari niat, konsistensi, dan kemauan kuat semua pihak. Di desa terpencil sekalipun, semangat membaca tetap bisa menyala terang jika guru, orang tua, dan komunitas bergerak bersama.
Sekolah ini menjadi bukti bahwa literasi adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya beban institusi pendidikan. Anak-anak MI Assalam kini sedang menulis masa depan mereka—melalui satu buku, satu halaman, dan satu kebiasaan baik yang akan mereka bawa sepanjang hidup.*** by Memey Melinda