BANDUNG, Balebandung.com – Sosialisasi penanganan anak penyandang autis dinilai masih minim, termasuk deteksi autis sejak dini terhadap anak. Padahal deteksi dini anak yang menyandang gejala autis bisa dilakukan sebelum autis makin berat terhadap perkembangan otak anak.
Namun praktisi autis Fattah Lesmana menilai, sosialisasi yang dilakukan pemerintah tentang deteksi dini anak penyandang autis masih sangat minim dan tidak masif. Fattah menyatakan penyandang autis masih belum mendapat perhatian besar dari berbagai pihak seperti Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan. Bahkan, sosialisasi terhadap warga soal autis pun sangat minim.
“Selama ini sosialisasi tentang anak autis masih sebatas para praktisi autis saja. Hanya yang melibatkan guru sekolah luar biasa (SLB), orang tua yang punya anak autis atau komunitas yang concern terhadap autis. Dari pihak pemerintah sendiri sosialisasi tentang anak autis ini masih minim,” ungkap Fattah kepada Balebandung.com, di Lembaga Pendidikan Prananda, Jl Logam Bandung, Kamis (25/7/19).
Menurut Fattah yang juga Pembina Yayasan Bentas Mulia Prananda sekolah autis ini, sosialisasi penanganan anak autis sangat penting dilakukan secara massif termasuk ke masyarakat umum, agar deteksi anak autis bisa dilakukan sejak dini.
“Anak bisa mulai ketahuan autis itu kan kalau sudah berumur satu tahun. Di situ baru kita bisa mengenal gejalanya dan harus segera ditangani agar autisnya tidak makin parah ssuai perkembangan otaknya. Nah, ini yang masih kurang diketahui masyarakat luas, apalagi terutama bagi para kader posyandu,” jelas Fattah.
Selain itu, keterbukaan keluarga pada anak yang menderita autis juga masih sangat rendah. Sebagian besar keluarga lebih menutup diri atas kondisi anak yang menyandang autis daripada harus berkonsultasi dengan psikolog atau dokter. Hal ini pun menurutnya perlu disosialisasikan lebih masif lagi.
Untuk itu dirinya berharap agar pemerintah daerah bisa lebih massif dalam mensosialisasikan pengetahuan tentang penanganan anak autis dengan melibatkan semua stakeholder terkait dan masyarakat umum. “Sosialisasinya kan bisa dilakukan di setiap kecamatan atau tiap desa, dengan melibatkan para kader posyandu,” ujarnya.
Dalam sosialisasi tersebut dapat bertukar pengalaman dan pengetahuan bagaimana menangani anak autis melalui berbagai metode penanganan atau terapi, yang juga dikombinasikan dengan berbagai pengalaman di lapangan langsung yang ditemukan.
Ia menyatakan anak autis sebenarnya bisa ditangani sejak dini agar tidak makin parah berat perkembangan otak sang anak. “Minimal kita bisa ajarkan anak autis ini bisa mandiri saja dulu. Mandi sendiri, berpakaian sendiri, makan sendiri diajari tata krama, dididik mental dan karakternya melalui terapi,” papar Fattah.
Selain terapi dan pendidikan, sosialisasi dan penerimaan masyarakat lingkungan sekitar menjadi unsur penting. Sebab bagaimana pun, kata Fattah, anak autis berhak untuk hidup sebagaimana manusia normal lainnya. “Intinya kita harus bisa memanusiakan anak autis ini,” tandasnya.
Data WHO menyebut di dunia ada sekitar 35 juta penyandang autisme. Artinya, 6 dari 1.000 orang menderita autisme. Di Indonesia penyandang autisme mencapai 112 .000 anak dengan rentang usia 5-19 tahun. ***