Balebandung.com – Tak lama kemudian penjaga yang tadi berlari menuju keraton Tatar Ukur datang. Kali ini jauh lebih tergesa dibanding saat ia berangkat. Ia segera menemui pimpinan para penjaga, lalu mereka berbisik-bisik sejenak sambil sesekali melirik ketiga orang Mataram yang terlihat tak sabar menunggu.
“Heh, lama sekali kalian omong-omong. Kalian lupa kami ini tamu yang harus dihormati? Bahkan kopi tak kalian suguhkan,” kata salah seorang dari ketiga orang Mataram itu. Tampak sekali ia mulai gusar.
“Uluh,” kata salah seorang penjaga. “Horeng jauh-jauh ti Mataram rek ngadon menta opieun, euy.” “Ternyata jauh-jauh datang dari Mataram, tak lebih hanya mau minta ngopi.”
Namun hasrat ngopi ketiga orang Mataram itu tampaknya harus mereka tahan. Selain para penjaga itu tampaknya cadu[1] menyajikan kopi di zaman belum adanya kopi instan sachetan itu, mereka juga diminta segera membawa orang-orang Mataram itu ngadeuheus, menghadap Bupati Sutapura, penguasa Tatar Ukur.
Sebenarnya para penjaga itu juga kuatir, jika menyajikan kopi Parahyangan yang terkenal harum dan mantap rasanya itu, orang-orang Mataram yang dikenal dokoh alias segala rupa disenangi itu bisa tergila-gila. Kian besar hasrat mereka untuk menguasai Tatar Ukur.
“Anda bertiga diminta segera menghadap Kanjeng Bupati, mari,”kata kepala penjaga.
Didahului mendengus karena urung minum kopi gratis, ketiga orang Mataram itu segera beranjak mengikuti langkah kepala penjaga. Empat orang penjaga segera mengikuti mereka, sesuai aturan protokoler Tatar Ukur saat itu.
Setiba di balairung keraton, tampak Bupati Sutapura sudah menunggu. Kesan tak sabar terlihat di wajahnya yang kusut. Belum lagi ketiga orang itu dipersilakannya duduk, Bupati langsung bertanya,”Hei, utusan, jadi benar kabar burung yang aku dapat bahwa Sinuhun Mataram sudah melantik Si Ukur menggantikan diriku? Ladalah, cilaka tilu welas ini.” Yang dikatakan kabar burung oleh Bupati Sutapura benar-benar dalam pengertian harfiah, karena kabar itu memang dibawa merpati terlatih yang dilepas jaringan Senapati Ronggonoto, segera setelah pelantikan Ukur.
“Sendika, Kanjeng Bupati,” kata ketiga orang Mataram itu. Mereka berharap segera ada perintah dari Bupati untuk duduk. Bagaimana pun perjalanan panjang berkuda yang mereka lakukan sangat melelahkan. Duduk, bahkan jika mungkin berbaring leyeh-leyeh dengan kopi atau tuak hangat tersaji di dekat mereka, apalagi bila ada bakakak alias panggang ayam, wajit, dodol, jalabria yang manis legit, dan buah-buahan lengkap, tentu akan lebih memuaskan. Sajian yang tepat untuk pembawa kabar penting seperti mereka. Ini, bahkan dipersilakan duduk pun tidak.
“Kurang ajar, eh maksudku bukan Kanjeng Sultan Agung. Kurang ajar Si Ukur anak kemarin sore dipercaya jadi bupati, menggantikan aku lagi!” kata Bupati Sutapura.
Bupati bangkit dari duduknya, wajahnya gundah. Ia terlihat gusar, namun juga ketara sekali kebingungan. Berkali-kali ia bolak-balik di sekitar kursi pangcalikannya.
“Eee…Kanjeng Bupati, jadi bagaimana kami?” tanya pimpinan ketiga orang Mataram itu. Ia tak sabar untuk menerima upah mengantarkan pesan Senapati Ronggonoto.
“Ooh kalian, iya aku lupa. Kapan Si Ukur kira-kira tiba ke mari?”tanya Bupati.
“Sepertinya tak akan pernah tiba, Kanjeng Bupati. Kami sudah menyiapkan seratus tamtama terkemuka di bawah pimpinan langsung Kanjeng Senapati untuk menamatkan umur Si Wangsa Taruna di Hutan Larangan. Tak mungkin Ukur bisa lewat. Mohon maaf, Kanjeng Bupati, mungkin Raden Rangga Gempol pun harus kami sedikit bikin cidera agar sandiwara ini tak terbongkar.”
“Ha ha ha ha ha, bagus! Bagus! Sampaikan pesanku kepada Kanjeng Senapati Ronggonoto, bulan depan akan ada kiriman mojang Tatar Ukur buat Kanjeng. Juga sedikit hasil bumi kami dan emas perhiasan. Tamat sudah orang yang akan coba-coba menggantikan aku di sini. Dia kira gampang jadi bupati. Ha ha ha..” Bupati Sutapura tergelak-gelak penuh suka. Hilang sudah gundah yang tadi begitu jelas terbaca di wajahnya.
“Eee…Kanjeng Bupati, bagaimana kami-kami…ya, begitulah, Kanjeng Bupati..” Si pimpinan orang-orang Mataram itu kembali mengingatkan.
“Ooh, ya sudah. Tugas kalian berhasil gilang gemilang. Sampaikan salam bakti kami buat Kanjeng Senapati. Jangan lama-lama di sini, karena pasti Kanjeng Senapati rindu kepada kalian semua. Ayo, ayo! Pergilah, masih banyak pasti tugas menanti kalian dari Kanjeng Senapati.”
Bupati Sutapura tak sedikit pun mencerminkan sikap seorang nonoman Sunda yang tata titi penuh duduga peryoga. Tak ada sikap ‘kewes pantes tandang gandang, handap asor pamakena, nyaritana titih rintih, ati-ati tur nastiti. Mun nyaur diukur-ukur, nyabda diunggang-unggang, bubuden teu ieu aing. Tak ada sedikit pun upaya untuk tepa selira, merasakan bahwa pahit bagi orang tentu pula pahit bagi dirinya.
Namun tiba-tiba ia seolah terhenyak. “Hei, kalian orang Mataram, lupa aku,” kata Bupati. “Ini upah kalian bertiga. Bagi adil ya, jangan ada yang rakus. Kalau mau ngopi, ngopilah di jalan. Tapi jangan banyak berhenti, kalian ditunggu Kanjeng Senapati.”
Dirogohnya sesuatu di balik sabuk kulitnya yang lebar. Sebuah kantong uang kecil yang di tatar Sunda disebut kanjut kundang. Rupanya sudah ia persiapkan itu sejak tadi. Alih-alih dihampirinya ketiga orang Mataram yang berdiri dari tadi itu, kanjut kundang itu hanya dilemparkannya ke tengah-tengah ketiganya. [bersambung/gardanasional.id]
[1] Rasa enggan yang sangat kuat, bahkan dekat-dekat kepada sumpah
Dipati Ukur; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Pasundan [17]: Sarapan Pagi dengan Bakar Mencek