Lanjutan pidato fenomenal Bung Karno dalam Sidang BPUPKI , 1 Juni 1945:
Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami oleh manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu Tanah Air. Tanah Air itu adalah satu kesatuan.
Allah SWT membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara dua lautan yang besar, Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia.
Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai “Golfbreaker” atau penghadang gelombang Lautan Pasifik adalah satu kesatuan.
Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas dan Gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa Kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula.
Itu ditaruhkan oleh Allah SWT. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, Tanah Air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesia lah Tanah Air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah Tanah-air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre ensemble”, tidak cukup definisi Otto Bauer “aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft” itu.
Maaf Saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Diantara bangsa Indonesia, yang paling ada “le desir d’etre ensemble”, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 1/2 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bahagian kecil daripada satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa “le desir d’etre ensemble”, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”, tetapi Sunda pun hanya satu bahagian kecil daripada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir d’etre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusianya yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SWT, tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari Ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! karena antara manusia 70 juta ini sudah ada “le desir d’etre ensemble”, sudah jadi “Charaktergemeinschaft”! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70 juta, tetapi 70 juta, yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!
(Tepuk tangan hebat)
Kesinilah kita semua harus menuju : mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara Tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Kesinilah kita harus menuju semuanya.
Sandara-saudara, jangan orang mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Saksen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jerman ialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venezia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italia lah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di utara dibatasi oleh pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punyab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi tiga India lah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di Tanah Air kita yang merdeka di jaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sriwijaya dan di jaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat.
Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan Nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoeddin di Sulawesi yang telah membentuk Kerajaan Bugis, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di jaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau Tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.
Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo, Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan kebangsaan”.
Tuan Lim Koen Hian: Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.
Tuan Soekarno: Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena Tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan.
Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa arab, tetapi semuanya “menscheid”, “peri kemanusiaan”. Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa!
Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, -katanya : jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 1917.
Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, – ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya “San Min Chu I” atau “The Three People’s Principles”, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh “The Three People’s Principles” itu, maka oleh karena itu jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat sehormat-hormatnya merasa berterimakasih kepada Dr. Sun Yat Sen, sampai masuk lubang kubur (Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan)
Saudara-saudara. Tetapi… tetapi… memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham, “Indonesia uber Alles”, Inilah bahayanya! Kita cinta Tanah Air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja daripada dunia!
Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata : “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah peri kemanusiaan”, “My nationalism is humanity”.
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan “Deutschland über Alles”, tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulya, berambut jagung dan bermata biru, “bangsa Aria”, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan berdiri di atas azas demikian. Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termuliya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principle yang nomor dua; yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan “internasionalisme”.
Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, Saudara-saudara, prinsip I dan prinsip II, yang pertama-tama saya usulkan kepada Tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3 ? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia, bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”.
Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan. Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, – maaf beribu-ribu maaf keislaman saya jauh belum sempurna, – tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan.
Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan membicarakan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.
Badan Perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi Badan Perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam.
Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini.
Ibaratnya Badan Perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari Badan Perwakilan Rakyat itu, hukum Islam pula.
Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam.
Maka saya berkata, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini beberapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat.
Oleh karena itu, saya minta kepada Saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun yang terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.
Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada.
Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat Saudara-saudara Islam dan saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap Letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian agar supaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, – fair flay!
Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam Negara Nippon tidak ada penggeseran pikiran. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita terlalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya.
Terimalah Saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan!