Lanjutan pidato fenomenal Bung Karno dalam Sidang BPUPKI, 1 Juni 1945:
Prinsip nomor 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, socialism.
Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, mereka dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?
Mana yang kita pilih, Saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat!
Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan rakyat yang diadakan di sana itu, sekedar menurut resepnya Fransche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan demokrasi di sana itu hanyalah politieke democratie saja, semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid – tak ada keadilan sosial, tidak ada economische democratie sama sekali.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politike democratie. “Di dalam Parlementaire Democratie”, kata Jean Jaures, “di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politik tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlemen. Tetapi adakah Sociale Rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?” Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi :
“Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu, di dalam Parlemen dapat menjatuhkan minister seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat kerja di dalam pabrik, – sekarang dia menjatuhkan minister, besok dapat dilemparkan ke luar ke jalan raya, dibikin Werkloos, tidak dapat makan suatu apa”. Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politik economische demiokratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid.
Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu-Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip : politieke rechhtvaardigheid den sociale rechtvaaruigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, Saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepala negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie “vooronderstelt erfelijkheid”, – turun temurun. Saya seorang Islam, saya, demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih.
Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun amirul mukminin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan otomatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme, – atau perikemanusiaan.
3. Mufakat, – atau demokrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia, merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih. Yang Islam bertuhan menurut Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban itu, ialah hormat-menghormati satu sama lain.
(Tepuk tangan sebagian hadirin)
Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaambeid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah
Ketuhanan yang berkebudayaan.
Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur,
Ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Disinilah, dalam pengakuan azas yang kelima inilah, Saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! Dasar-dasar Negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indera. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang Hadir: Pendawa Lima).
Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: Kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi-saya namakan ini dengan tunjuk seseorang teman kita ahli bahasa – namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia kekal dan abadi.
(Tepuk tangan riuh).
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasaan” yang tiga itu? berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan intemasionalisme, kebangsaan dan peri kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economische democratie, yaitu politik demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilah yang dulu saya namakan sociademocratie. Tinggal lagi Ketuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, -semua buat semua!
Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapat lah saya satukan perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “Gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong-royong!
(Tepuk tangan riuh-rendah).
“Gotong Royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karya, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karya, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama.
Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntulbaris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!
(Tepuk tangan riuh-rendah).
Prinsip Gotong Royong diantara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.
Inilah, Saudara-saudara, yang saya usulkan kepada Saudara-saudara. Pancasila menjadi Trisila. Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada Saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada Saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu.
Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan, Saudara-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, – di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdullilah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan.
Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan. Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Pancasila.
Sebagai dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah Saudara-saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalitis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk Ketuhanan. Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun. Tetapi, Saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah kepada Saudara-saudara.
Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit jika tidak dengan perjuangan!
Jangan pun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh San Yat Sen! “Der Mensch”,- manusia!, – harus perjuangkan itu. Zonder perjuangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjuangan seluruh rakyat Rusia, Sun Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa, Saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit.
Jangankan buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart of wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjuangan umat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan Ketuhanan yang luas dan sempurna, – janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali perjuangan.
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir: Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insaflah, tanamkanlah dalam kalbu Saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko, – tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya.
Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir jaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka, – merdeka atau mati”!
(Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap “verschrikkelijk zwaarwichtig” itu. Terima kasih!
(Tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadirin)
by akarnews