Rabu, Oktober 16, 2024
BerandaBale JabarInggit Garnasih; Ibu, Kekasih, dan Kawan Seperjuangan Bung Karno

Inggit Garnasih; Ibu, Kekasih, dan Kawan Seperjuangan Bung Karno

BALEBANDUNG – Inggit Garnasih lahir di Desa Kamasan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada 17 Februari 1888 atau kini 130 tahun. Mulanya ia diberi nama Garnasih dari kata hegar (segar menghidupkan) dan asih (kasih sayang). Penyebutan nama Inggit berasal dari dirinya yang ketika kecil sering diberi uang sebanyak seringgit jika pergi ke pasar. Selain itu, di malam harinya juga suka ada yang melempari dinding kamarnya dengan uang seringgit yang terbungkus dengan genting.

“Sejak itulah aku diberi nama atau katakanlah disebut orang-orang di rumah pada mulanya, si Ringgit dan kemudian menjadi si Inggit, sebutan yang lebih manis kedengarannya,” kata Inggit dalam buku Soekarno: Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan K.H.

Semasa masih remaja, Inggit dikenal sebagai kembang desa di kampung halamannya. Banyak pemuda yang mencoba mendekatinya untuk sekedar mencari perhatian. Kelak si bunga desa itu dipersunting oleh seorang patih di Kantor Residen Priangan yang bernama, Nata Atmaja. Namun pernikahan mereka tidak bertahan lama dan berakhir dengan perceraian.

Inggit kemudian menikah lagi, kali ini dengan seorang pengusaha bernama Haji Sanusi yang aktif di organisasi Sarekat Islam. Pernikahan mereka sebenarnya baik-baik saja, meski bisa dibilang tidak bahagia lantaran Inggit yang sering ditinggalkan oleh sang suami.

Pada waktu itu, Sukarno masih berusia 21 tahun saat tiba di Bandung untuk melanjutkan kuliahnya di ITB setelah lulus dari Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Ketika itu, Sukarno bukan pria lajang karena ia sudah punya istri yang bernama Siti Oetari yang tak lain adalah putri kesayangan bapak kostnya di Surabaya yaitu Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Akan tetapi, perasaan cinta Sukarno kepada Oetari tak lebih seperti cinta kepada saudara. Semasa berada di Bandung, Sukarno lebih banyak berinteraksi dengan Inggit, apalagi mereka tinggal serumah. Sejak saat itulah, butir-butir cinta mulai berkembang di antara keduanya. Sukarno menceraikan Oetari, begitu pula dengan Inggit yang secara resmi berpisah dengan Sanusi.

Meski usia Inggit lebih tua lima belas tahun, namun yang namanya cinta tidak memandang usia. Sukarno menikahi Inggit pada 24 Maret 1923 di rumah orangtua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung.

Inggit berperan besar mendorong Sukarno untuk menyelesaikan kuliahnya yang nyaris terbengkalai karena aktivitas politik. Bersama Ratna Djuami yang diangkat sebagai anak, mereka hidup berpindah-pindah kontrakan. Dari Jalan Pungkur, Jalan Dewi Sartika No.22 sampai Gang Jaksa. Kelak mereka akan memiliki rumah sendiri dengan harga terjangkau di bilangan Astana Anyar.

Saat Sukarno dan Inggit membelinya di tahun 1926, bangunan tersebut masih berupa rumah panggung yang terbuat dari bilik bambu / gedek. Untuk menunjang ekonomi, pasangan ini kemudian membuka indekos murah untuk beberapa anak muda yang sebagian besar adalah kader politik Sukarno. Alhasil, rumah mereka jadi ramai dengan perbincangan masalah perpolitikan.

Untuk menghidupi keluarganya, Inggit lebih banyak berperan sebagai tulang punggung ekonomi dengan berjualan jamu, bedak dingin, dan roko kawung baik lintingan maupun bungkusan.

Inggit pula yang selalu menyertai setiap langkah Sukarno. Ketika Sukarno ditangkap di Yogyakarta pada 29 Desember 1929 dan dijebloskan di Penjara Banceuy, Bandung sampai dipindah ke Penjara Sukamiskin, Inggit tak pernah lelah memberikan semangat untuk sang suami.

Setiap kali menjenguk Sukarno di penjara, Inggit kerap menyelipkan uang di dalam makanan yang dibawanya hanya agar Sukarno bisa membujuk penjaga untuk membelikannya surat kabar. Selama Sukarno hidup di bui, Inggit pula yang menjadi perantara suaminya agar bisa terus berkomunikasi dengan para aktivis pergerakan nasional lainnya.

Untuk mengirimkan pesan kepada sang suami, Inggit menggunakan kertas rokok lintingan yang kala itu ia buat sendiri. Rokok yang diikat dengan benang merah itu dibuat khusus untuk para relasi suaminya, yang di dalamnya berisi pesan-pesan dari Sukarno.

Bahkan ia pun sering membawakan sejumlah buku yang diminta oleh Sukarno walau dalam hal ini ia harus ekstra hati-hati agar tidak ketahuan penjaga. Dalam buku Biografi Inggit Ganarsih: Perempuan dalam Hidup Sukarno karya Reni Nuryanti (2007) disebutkan bahwa Inggit harus berpuasa dahulu selama beberapa hari agar buku-buku itu bisa diselipkan di perutnya.

Inggit tak pernah lepas dari Sukarno, termasuk ketika suaminya itu dibuang ke Ende, Flores pada 1933, lalu diasingkan lagi ke Bengkulu tahun 1938, ia selalu setia menyertai. Di sini juga akhirnya Sukarno mengenal Fatmawati, seorang remaja putri nan jelita anak tokoh Muhammadiyah Bengkulu.

Setelah Jepang mengalahkan Belanda dan menduduki Indonesia pada 1942, Sukarno minta izin kepada Inggit untuk menikahi Fatmawati. “Oh, dicandung? Ari kudu dicandung mah, cadu (Oh, dimadu? Kalau harus dimadu, pantang)”, tegas Inggit yang lebih memilih diceraikan ketimbang harus dimadu.

Setelah itu, Sukarno menceraikan Inggit dengan alasan tidak memberikan keturunan, dan mereka berdua pulang ke Jawa. Setahun kemudian, yaitu pada tanggal 1 Juni 1943, Sukarno menikahi Fatmawati dengan cara nikah wali, karena mempelai wanitanya masih berada di Bengkulu. Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, dan Sukarno menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia pertama, Fatmawati-lah yang akhirnya menjadi Ibu Negara alias First Lady. Sedangkan, Inggit tetap sendiri dan masih tinggal di Bandung.

S.I. Poeradisastra dalam pengantar Kuantar ke Gerbang, menilai Inggit sebagai wanita luar biasa. “Kekasih satu-satunya yang mencintai Sukarno tidak karena alasan harta dan takhta, yang selalu memberi dan tidak pernah meminta kembali. Satu-satunya wanita yang bersedia menemani Sukarno dalam kemiskinan dan kekurangan. Hanya Inggit merupakan tiga bentuk dalam satu kepribadian, yakni ibu, kekasih, dan kawan yang selalu memberi tanpa pernah meminta.”

Meski pernah disakiti Sukarno, “Inggit selalu menganggap Bung Karno sebagai rekan seperjuangan paling berkesan. Dia marah kalau ada yang menjelekkan Bung Karno.”

Pada 21 Juni 1970, Sukarno meninggal dunia setelah seluruh kekuasaanya dilucuti oleh Soeharto yang menggantikannnya sebagai Presiden. Ketika mengetahui Sukarno wafat, Inggit langsung bergegas menuju ke Wisma Yaso, Jakarta yang menjadi rumah duka sang mantan suami.

Di samping jasad Sukarno, Inggit berucap dalam bahasa Sunda dengan diiringi isak tangis yang sedikit tertahan. “Kus, gening kus teh miheulaan, ku Inggit didoakeun…” artinya kira-kira “Kus, Ternyata Kus pergi lebih dulu. Inggit mendoakanmu..” sampai di sini, kata-katanya terhenti. Ia tak kuasa menahan kepedihan atas kepergian lelaki yang sangat dicintainya itu.

Inggit sudah memaafkan Sukarno sejak lama, seperti yang terucap dalam petemuan mereka di Bandung tahun 1960. Ia juga memaafkan Fatmawati yang menemuinya pada 7 Februari 1980 dengan mediasi Ali Sadikin.

Pada saat itu, Ali Sadikin mempertemukan Inggit dengan Fatmawati, hampir 38 tahun mereka tidak bertemu. Fatmawati meminta maaf kepada Inggit sambil bersujud dan menciumi kakinya. Tiga bulan setelah peristiwa haru biru itu, Fatmawati meninggal dunia di Malaysia pada 14 Mei 1980.

Pada tanggal 13 April 1984, Inggit Ganarsih meninggal dunia. Istri tercinta Sukarno yang selalu setia menemaninya di saat paling sulit itu wafat karena penyakit bronchitis yang dideritanya sejak 1982, dan juga karena faktor usia.

Jasad Inggit kemudian dimakamkan di Pemakaman Umum Porib, Jalan Makam Caringin, Kota Bandung. by Aries Munandi

BERITA LAINYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

TERKINI

spot_img