BANDUNG – Selepas dhuhur, sebuah bus kota penuh penumpang melaju perlahan meninggalkan terminal Leuwi Panjang, Bandung. Suara bus bercampur dengan deru kendaraan lain membuat suasana bising.
Tiba di sebuah lampu merah, bus berhenti. Mendadak dari dereten kursi penumpang paling depan seorang lelaki berpeci putih berdiri. Dengan bahasa yang santun dan ramah, ia menyapa para penumpang. “Assalamu’alaikum.” Lalu, ia minta ijin beberapa menit untuk menyampaikan sesuatu.
“Saya di sini tidak mewakili lembaga apapun. Tanpa bermaksud menggurui, saya hanya berbagi ilmu dan saling mengingatkan,” kata dia membuka tausyiahnya.
Sesaat kemudian mengalir kalimat-kalimat penuh makna. “Hidup bahagia adalah keinginan kita semua,” ujarnya, ”di sisi lain, persepsi setiap orang tentang bahagia berbeda-beda. Ada yang beranggapan kebahagiaan terletak pada harta. Yang lain berpendapat kebahagiaan ada pada kekuasaan. Ada pula yang berpikir kebahagiaan hanya bisa didapat melalui ketenaran atau popularitas. Karena itu, mereka mengejar dan mencari semua itu. Padahal, semua itu tidak akan mampu mendatangkan kebahagiaan yang dicari.”
”Sejatinya, kebahagiaan itu terdapat di dalam hati, bukan pada materi. Kebahagiaan tidak terletak pada sarana. Ia bisa diraih jika kita mengetahui rumus dan sumber asalnya.”
Pria itu kemudian memberi resep sederhana. Secara ringkas, menurutnya, sumber kebahagiaan ada tiga: berfikir positif, membahagiakan orang lain dan zikir.
Saat pria itu berceramah, sebagian penumpang ada yang memperhatikan secara serius. Ada juga yang mengobrol dan ada pula yang cuek. Tetapi, sepertinya ia tidak terganggu dengan berbagai respon penumpang. Ia terus berpetuah.
Sekitar lima menit kemudian, si penceramah mengakhiri tausyiahnya. Ia mengucapkan terima kasih, juga memohon maaf jika ada yang terganggu. Beberapa penumpang nampak mengeluarkan uang recehan dan hendak memberikan kepada sang penceramah. Namun ia segera menolak sembari memberi pengertian dengan senyum. “Tujuan saya memberi tausyiah, bukan meminta sumbangan atau maksud lain,” tukasnya.
Bus terus berjalan. Saat berhenti di perempatan jalan karena lampu merah, ia melompat turun sambil mengucapkan salam.
Itulah sepenggal kisah Saleh Muslim (36) berdakwah di atas bus kota. Meski kadang mendapat cemoohan, Solmus, demikian biasa dipanggil, tetap istiqomah menjalaninya sejak tahun 2009 silam.
Dalam seminggu, tiga kali ia menjalani dakwah yang penuh tantangan itu. “Tapi itu dulu. Sekarang seminggu sekali,” kata Solmus menambahkan. Bukan karena surut, melainkan ia punya tanggung jawab lain. Kini, ia mengajar di sebuah SD di Kota Kembang. “Biasanya saya berdakwah setiap Rebo, setelah mengajar,” ungkapnya.
Sehari Solmus biasanya berdakwah di 3 bus. Ia lebih suka memilih waktu sore hari, “Suasananya lebih enak untuk memasukkan nilai-nilai,” terangnya.
Berawal dari kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung. Tiap hari ia naik bus untuk menuju kampusnya itu. Saking seringnya naik bus, ia jadi paham karakter transpotasi dalam kota yang murah meriah ini.
Bus kota, kata ayah tiga anak ini, seperti ruang terbuka. Siapa saja boleh naik dan memanfaatkannya. Maka tak heran bila pengamen, pedagang asongan, pengemis bahkan pencopet silih berganti naik. Mereka semua mengais rezeki dari angkutan massal ini.
Dari pengalaman itu, Solmus menemukan ide: menjadikan bus kota sebagai ladang dakwah. “Sekedar untuk mengingatkan para penumpang tentang agama dan kehidupannya supaya lebih bermakna dan bahagia,” kata mantan aktivis dakwah kampus ini.
Segera ia mulai menjalankan rencananya. Ternyata berceramah di bus bukan hal mudah meski hanya sekedar berbicara. Harus bermental kuat, di samping materi yang harus cocok dengan keadaan para penumpang yang heterogen.
Di samping itu, harus pandai melihat situasi dan kondisi yang tepat. “Jangan sampai bersamaan dengan pengamen dan pedagang asongan atau pengemis,” ujarnya.
Solmus menceritakan pengalamannya. Suatu ketika ia baru memulai tausyiah. Tiba-tiba naik rombongan pengamen. Merasa didahului, mereka marah-marah sambil memaki-maki. “Kalau ceramah di masjid, jangan di bus kota. Di sini untuk mencari uang,” kata mereka.
Lain kali ia diuji oleh pedagang asongan. Saat ia berceramah, pedagang asongan itu berkata ke sebagian penumpang. Pedagang asongan itu berkata ke sebagian penumpang, “Tong didenge…tong didenge…,”. (jangan didengerin).
Mengahadapi semua tantangan itu, Solmus tetap tenang. Ia tidak menyurutkan langkah. “Itu bagian dari ujian dakwah yang harus dihadapi dengan sabar,” ucapnya.
Dari pihak Damri sendiri, sebagai pengelola bus kota, ada oknum yang semula melarang Solmus. Dia beralasan, bus kota bukan masjid. “Selain itu, dia takut dakwah saya mengundang kecemburuan kelompok agama lain,” tambah Solmus. Tetapi setelah Solmus menjelaskan, oknum tadi bisa memahami dan mendukung.
Hikmah
Bagi Solmus berdakwah di atas bus kota mendatangkan banyak hikmah, baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Kalau pengajian biasa jamaah harus diundang dulu, beda dengan bus kota, “mereka menunggu dai,” ujar Solmus.
Jika membaca sirah, lanjut Solmus, Rasulullah Shallahu ‘alaihi Wassalam pun suka berdakwah di tempat-tempat umum. Misalnya di pasar atau di kerumunan orang banyak. Dilihat dari sini, maka penumpang bus kota merupakan kumpulan orang yang dilihat dari prespektif dakwah adalah objek dakwah.
“Mungkin mereka ada yang belum tersentuh agama atau melupakannya sehingga mudah-mudahan dengan adanya dakwah di bus kota menjadi sarana sampainya hidayah pada mereka,” jelas Solmus.
Soal isi ceramah, Solmus mengaku hanya menyampaikan yang ringan-ringan saja. Seperti makna hidup, bahagia, sumber kebahagian, cara mengatasi masalah hidup dan mencari karunia Allah Subhanahu Wata’ala. Ia belum menyinggung masalah fikih. Hal itu mengingat kondisi penumpang yang beragam, baik usia maupun tingkat pemahamannya.
Dakwah Solmus di bus kota mendapat respon positif, baik penumpang maupun pihak Damri. “Pernah ada penumpang non muslim memuji dan mendukung dakwah saya,” kenangnya.
Direktur Damri Pusat sendiri tahun lalu langsung mengundang Solmus ke Jakarta. Atas usahanya tersebut ia mendapat “penghargaan.” “Saya diundang ke Jakarta untuk memberi pengajian di kantor pusat,” kata Solmus. Yang paling membahagiakan, Solmus mendapat kesempatan menuaikan umroh ke Tanah Suci pada akhir 2012 silam. Ada salah satu orangtua siswa didiknya yang mengetahui dan simpati atas dakwah Solmus di bus kota.
Solmus juga telah menulis isi ceramah-ceramahnya di bus kota dan tempat lainnya dalam sebuah buku kumpulan ceramah singkat. Ia berharap, buku tersebut bermanfaat dan dakwahnya di kendaraan umum ada yang melanjutkan atau meniru sehingga ada nilai lebih saat orang naik kendaraan umum.by iman/hidayatullah.com