SOREANG – Seiring dengan tingginya kesadaran manusia pada budayanya, pemakain iket pun rating-nya mengalami peningkatan, meskipun baru sebatas asesoris. Tanpa mengerti fungsi dan filosofinya iket, pengguna iket selain bangga juga merasa telah ikut melestarikan budaya daerahnya.
Apalagi di beberapa kabupaten/kota, pada hari-hari tententu mewajibkan siswa sekolah mulai dari SD hingga SMA dan pejabat di lingkungannya mengenakan pakaian tradisional.
”Dengan adanya kesadaran serta kebijakan pemerintah seperti itu, sudah alhamdulillah. Tapi alangkah sempurnanya, jika keharusan mengenakan pakaian tradisional dilengkapi dengan iket kepala,” ungkap budayawan Kabupaten Bandung, Boy Anggara saat ditemui di Soreang, Senin (18/12/17).
Boy menyebutk sedikitnya dari 300 jenis iket yang berhasil ditemukan, diantaranya iket Makutawangsa. Berbeda dengan iket-iket lainnya, Makutawangsa merupkaan hasil rekaan sesuai dengan masa kekinian. Sedangkan filosofis dari iket yang ditemukan oleh Abah Uci itu, berarti mengikat kehormatan bangsa.
“Mengenai tahun dan abad kebarapa iket tersebut ditemukan, saya tidak tahu. Sebab engga ada catatannya. Yang jelas sebagai penemunya, Bah Uci menyebutkan jika Makutawangsa adalah iket khasnya Kabupaten Bandung,” paparnya.
Sebagai budayawan, Boy terpanggil untuk “memasyarakatkan Makutawangsa dan Memakutawangsakan masyarakat.” Bukan sekadar skala regional, juga nasional bahkan ia ingin Iket Makutawangsi sampai bisa go internasional.
Untuk dikenal di tingkat nasional, pihak Kementrian Pariwisata dan Kebudayaan (Kemenparbud) sudah menanti Makutawangsa untuk go publik. Selain itu, pihaknya akan berupaya jika iketnya Kabupaten Bandung itu bisa jadi icon-nya daerah tersebut.
“Cuma saya belum menerima tawaran itu. Karena sesuai amant dari Bah Uci, sebelum dikenal daerah atau kabupaten lain, Makutawangsa terlebih dulu haru kenal dengan warga Kabupaten Bandung,” tukas Boy.
Untuk mesosialisasikan Makutawangsa, langkah awal mengenalkannya pada para pemuda sebagai generasi penerus, khususnya siswa SMA se-Kabupaten Bandung. Kegiatan itu rencananya akan dilaksanakan akhir tahun 2017, bekerjasama dengan Disparbud dan Disdik Kabupaten Bandung. Setelah itu, akan dilangsungkan pula workshop untuk para birokrat, mulai dari para camat hingga pejabat esselon II.
Boy menguraikan, dalam kegiatan sosialisasi dan workshop itu nanti bukan sekadar memperkenalkan Makutawangsa, tapi juga memberitahukan soal fungsi dan fiosofisnya iket. Seperti diketahui filosofis iket, yakni untuk mengikat rasa kasih sayang serta hawa nafsu.
“Filosofis iket itu kan untuk mengikat hawa nafsu, rasa kasih sayang di antara sesama manusia sedunia. Sementara fungsinya cukup banyak, dengan ukuran cukup lebar 110 X 110 cm iket pada saat itu digunakan untuk mengikat kayu bakar, atau sebagai tempat untuk menyimpan barang yang akan dibawa di kala mau bepergian. Ya, digembol,” tuturnya.
Selain itu juga akan diadakan lomba memakai iket, secara tradisional. Rencananya perlombaan tersebut, akan memperebutkan Piala Bupati Bandung. Dengan menjamurnya budaya instan, memakai iket pun ingin secara instan dan sikap itu selain menghilangkan adabnya juga seni mengenakan iket jadi terkikis.
Pemakain iket secara tradisi, selain ulin rasa adanya keharmonisan antara otak kiri dan kanan, juga mencerminakan diri si pemakai. Jika dalam pemakain iketnya rapih, menandakan orang bersangkutan tengah damai, senang hati. Tapi sebaliknya jika tatananya kurang baik, menandakan si pengguna iket sedang galau.
Boy menandaskan, untuk lebih mengenalkan Makutawangsa butuh figur seperti pimpinan daerah. Apalagi jika para politisi, khususnya yang terhormat para anggota dewan ikut mensosialisakan Makutawangsa dengan cara mengenakannya, pada setiap kegiatan.
“Sepertinya akan terlihat indah jika saat sidang parpurna, yang terhormat mengenakan iket atau saat menerima tamu dari kabupaten/kota dari provinsi lain,” harap Boy.
Menurutnya warna Iket Mekutawangsa tidak harus kuning atau hitam. Makutawangsa bisa dibuat dengan warna apa saja, dan jenis kain batik apapun. ***